• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    HM Daeng Patompo dan Angka-Angka Tahun yang Tidak Selaras

    Redaksi Tebarnews
    09/11/2025, 12:02 PM WIB Last Updated 2025-11-09T04:02:42Z

     


    Oleh: Rusdin Tompo 

    (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)


    Kolonel (Purn) Haji Muhammad Daeng Patompo merupakan Wali Kota Makassar yang legendaris. Salah satu legacy terbesanya adalah memperluas wilayah kota ini, kurang lebih 4 mil atau setara dengan 10.000 hektare. 


    Semula hanya seluas 21 km persegi, lalu bertambah menjadi 175,77 km persegi. Sebagian wilayah Kabupaten Gowa, Maros, dan Pangkep diambil masuk menjadi bagian dari kota yang kemudian berubah nama menjadi Ujung Pandang itu.


    Perubahan nama Ujung Pandang terjadi pada tanggal 31 Agustus 1971, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971. 


    Belakangan, atas tuntutan sejumlah tokoh budayawan, akademisi, dan seniman, seperti Prof Dr Andi Zainal Abidin Farid, Dr Mattulada, dan Drs Hamzah Daeng Mangemba, nama Makassar dikembalikan. 


    Peristiwa bersejarah ini terjadi pada tanggal 13 Oktober 1999, di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Dasar hukumnya merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999. Wali Kota Makassar, kala itu, adalah HB Amiruddin Maula.


    Sumber Resmi Pemkot Tidak Akurat


    Pertanyaannya, kapan dan berapa lama HM Daeng Patompo memimpin Ujung Pandang atau Makassar sebagai wali kota? Mungkin, banyak yang menduga, ini pertanyaan mudah, bisa di-searching di internet atau dibaca dalam sejumlah buku.


    Harapannya begitu, tetapi ternyata tidak! Berdasarkan penelusuran saya, terdapat ketidak-konsistenan penulisan atau pencantuman masa jabatan wali kota yang dikenal dekat dengan kalangan seniman dan wartawan tersebut.


    Anehnya, saya menemukan penulisan tahun-tahun masa jabatan wali kota yang tidak selaras itu justru di Museum Kota Makassar dan di portal berita Pemkot Makassar, makassarkota.go.id.


    Di Museum Kota Makassar, Jalan Balai Kota Nomor 11, angka-angka yang berbeda itu bisa ditemukan di Patompo Memorial dan ruang yang memajang deretan lukisan Wali Kota Makassar dari masa ke masa.


    Di Patompo Memorial yang berada di lantai dua, terdapat memorabilia berupa seragam dan baju dinas HM Daeng Patompo lengkap dengan tanda jasa dan pangkatnya. 


    Ada plakat, piagam, foto-foto aktivitasnya selama mengemban amanah sebagai Wali Kota Makassar, serta deretan piala--termasuk Piala Presiden Soeharto saat PSM juara di tahun 1974.


    Bila berada di Patompo Memorial, seolah kita akan menemui wali kota visioner itu di ruang kerjanya. Sebab ada meja kerja dan kursi sofa, yang layaknya diperuntukan bagi tamu.


    Dalam ruangan itu, terpampang satu foto berukuran besar, yang menampilkan HM Daeng Patompo berdiri memegang tongkat komando, mengenakan baju dinas wali kota warna putih dengan dasi kupu-kupu hitam. Di pojok bawah foto tersebut tertera nama HM Daeng Patompo, dan masa jabatannya, 1965-1978.


    Pada ruangan berbeda, yang memajang lukisan potret Wali Kota Makassar--sejak masa pendudukan tentara Jepang (Mr Gunta Yamasaki, 1942-1945) hingga Mohammad Ramdhan Pomanto (2014-2019 dan 2021-2025)--terdapat pula penulisan angka tahun masa jabatan Patompo. 


    Sayangnya, angka tahun sebagai keterangan lukisan potretnya tidak selaras dengan yang ada di ruangan sebelah. Bahkan saya menemukan di ruangan ini terdapat dua penulisan yang tidak konsisten. 


    Pada lukisan potret HM Daeng Patompo, yang diberi barcode, tertulis ia menjabat sebagai wali kota pada tahun 1965-1976. Namun, pada papan informasi yang berada di dekat pintu, tercantum bahwa wali kota yang berasal dari militer itu menjabat pada tahun 1968-1978.


    Keanehan soal angka-angka ini masih saya jumpai ketika hendak memverifikasi masa jabatan HM Daeng Patompo di portal resmi milik Pemkot Makassar, makassar.go.id. 


    Hasilnya, ketidak-telitian malah dengan mudah dijumpai pada laman yang sama. Pada informasi yang satu tertulis: Kol. H.M. Dg. Patompo (1962-1976), sementara yang satunya lagi menyebut HM Patompo, masa jabatan: 1965 s.d. 1978.


    Bagaimana bisa data dan informasi dari wali kota setenar ini tidak cocok satu sama lain? Bagaimana koordinasi antara Humas, Dinas Kominfo, Dinas Kearsipan, dan UPT Museum Kota Makassar, yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan? 


    Apakah tidak ada sejarawan atau peneliti sejarah yang dilibatkan untuk memastikan informasi sepenting itu? Apakah Pemkot Makassar tidak menggunakan sumber-sumber resmi, seperti Surat Keputusan, foto arsip, dan dokumen valid lainnya ketika menyuguhkan data-data itu?


    Tentu saja angka-angka yang membagongkan itu--meminjam istilah anak gaul zaman now--harus segera dibereskan. Sebab angka-angka tahun dalam peristiwa sejarah punya arti yang sangat penting. 


    Angka-angka tahun itu berfungsi sebagai penanda waktu (kronologi), sebagai alat untuk menghindari kerancuan waktu (anakronisme), dan sebagai bukti faktual yang memungkinkan para sejarawan merekonstruksi peristiwa masa silam secara akurat dan sistematis. 


    Jadi angka-angka tahun itu, tidak boleh sama sekali dianggap remeh. Ada legalitas kewenangan dalam rentang waktunya.


    Angka-angka itu bukan sekadar periodesasi masa jabatan, tetapi juga periodesasi sejarah. Dari sana kita bisa meraba denyut pembangunan: sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. 


    Angka-angka itu memberikan kerangka waktu yang esensial supaya kita dapat memahami transformasi masyarakat dalam suatu periode kepemimpinan tertentu. Angka-angka itu merupakan sumber pembelajaran dan literasi.


    George Bernard Shaw, penulis drama, kritikus, dan politisi berkebangsaan Irlandia pernah bilang, "Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar apa pun dari sejarah." Penulis asal Spanyol, George Santayana, memperjelas kalimat itu, dengan mengingatkan bahwa mereka yang tidak bisa belajar dari sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya.


    Merujuk Masa Jabatan Sebelum dan Sesudahnya


    Saya mencoba melakukan analisis sederhana untuk memastikan masa jabatan HM Daeng Patompo. Biar nanti dapat saya simpulkan masa awal beliau menjabat sebagai wali kota, dan masa berakhir beliau mengorkestrasi pembangunan di kota ini.


    Berdasarkan situs web Pemkot Makassar, sebelum Patompo, Wali Kota Makassar adalah H Aroepala. Namun, lagi-lagi masa jabatan Aroepala ditulis tidak konsisten, yakni 1962-1965 dan 1961-1965. 


    Setelah Patompo, Makassar dipimpin oleh Kolonel Abustam, sebagai wali kota. Ternyata penulisan periodenya juga ada dua, dan berbeda, masing-masing 1976-1982 dan 1978-1983.


    Saya mencari sumber-sumber lain, dan mendapati bahwa tanggal kelahiran Patompa juga ditulis berbeda. Ada yang menyebut lahir pada tanggal 16 Agustus 1926, tetapi ada pula yang menyebut 17 Agustus 1926. Nah.


    Dalam buku "Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti", dengan editor Yudhistira Sukatanya dan Goenawan Monoharto (2000), ditulis bahwa pria kelahiran Polawali Mandar, yang punya nama kecil Andi Sappewali itu, diangkat sebagai wali kota pada tanggal 8 Mei 1965 dalam Sidang Pleno DPRD Kotamadya Makassar. 


    Hanya saja, dalam buku yang sama, yang membahas khusus Patompo, tidak ditemukan kapan, di mana, dan bagaimana prosesi Patompo mengakhiri tugas mulianya sebagai Wali Kota Makassar.


    Ensiklopedia daring, wikipedia.org, dalam judul artikel "Daftar Wali Kota Makassar" mengurai masa jabatan Patompo terdiri atas tiga periode. 


    Periode pertama dimulai tanggal 8 Mei 1965 hingga 1968, periode kedua 1968-1973, dilanjutkan periode ketiga, tahun 1973-1978. Artinya beliau menjadi wali kota selama 13 tahun--mungkin periode terlama seorang wali kota dalam sejarah Indonesia.


    Bayangkan, selama beliau memimpin Makassar, Gubernur Sulawesi Selatan tiga kali berganti, mulai dari periode Andi Ahmad Rifai, Achmad Lamo, hingga Andi Oddang. Saat Patompo menjabat, terjadi pula peristiwa besar di negeri ini, yakni pergantian tampuk pemerintahan dari Ir Soekarno ke Jenderal TNI Soeharto.


    Ali Sadikin-nya Ujung Pandang


    HM Daeng Patompo merupakan wali kota fenomenal, terkenal karena berbagai terobosannya. Pria humoris dan bersahaja ini membangun Makassar dengan pola pemberantasan "3K", yaitu kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan. Impiannya, menjadikan Makassar sebagai kota "5 dimensi": sebagai kota dagang, kota budaya, kota industri, kota akademik, dan kota pariwisata.


    Demi membiayai pembangunan kotanya, Patompo melegalisasi judi lotto (lotre totalisator). Kebijakan mengisi pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini terang saja menuai kontoversi. Namun, bukan itu yang membuatnya diingat dan dikenang. 


    Hasil dari lotto antara lain dipakai untuk membangun sarana pendidikan, berupa SD Tauladan Bawakaraeng, SD Tauladan Pongtiku, dan SD Tauladan Sudirman.


    Lewat Gerakan Masuk Kampung (GMK), Patompo membuka isolasi kampung-kampung pinggiran dan pelosok, supaya terhubung dengan pusat kota. Gerakan ini mendapat pengakuan dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang segera memberinya dukungan finansial. Program ini lantas ditiru Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977).


    Guna menanggulangi banjir, ia membangun tanggul di tepi sungai Jeknekberang, yang kita kenal sebagai tanggul Patompo. Ia menata rumah-rumah di perkotaan dengan membangun Kompleks Patompo di selatan kota. Ia juga membangun semacam kota satelit yang dinamakan Ujung Pandang Plan.


    Patompo mengubah wajah Makassar menjadi gemerlap, penuh nyala lampu neon di malam hari, hingga ke permukiman warga. Penataan yang signifikan menjadikan Ujung Pandang meraih penghargaan sebagai Kota Terbersih, pada tahun 1967. 


    Program "6 Cukup" benar-benar diwujudkannya. Sebagai pemimpin, Patompo berupaya memenuhi kebutuhan hidup warganya. Ia ingin mereka memiliki kecukupan: cukup lapangan kerja, cukup perumahan, cukup air minum dan listrik, cukup pendidikan dan kesehatan, cukup perhubungan, juga cukup hiburan dan olahraga.


    Torehan prestasi pembangunan membuat Patompo memiliki reputasi sebagai wali kota legendaris. Tak ayal Patompo dijuluki Ali Sadikin-nya Ujung Pandang, kala itu. Namun secara berkelakar, ia justru mengatakan bahwa Ali Sadikin adalah Patompo-nya Jakarta. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini