• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Dari Masagena ke Masagena: Sebuah Kelana Budaya

    Redaksi Tebarnews
    07/12/2025, 5:06 PM WIB Last Updated 2025-12-07T09:06:28Z

     

    Penulis di Masagena Cottage 2, Malino. (Ist)


    Oleh: Rusdin Tompo 

    Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan


    "Jangan melihat ke luar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu." ~ Jalaluddin Rumi


    Makassar diguyur hujan ketika kami meninggalkan Roemah Masagena--sebuah resto berkonsep unik--di Jalan Pengayoman, Makassar. Sesuai namanya yang ditulis menggunakan Ejaan van Ophuijsen, dan gambar nenek berkebaya yang ada di plang logonya, Roemah Masagena menghadirkan pengalaman bersantap dengan menu tradisional yang disajikan menarik dan nostalgic. Bukan saja secara visual memanjakan mata, tetapi rasanya pun ngangenin, pakacinna-cinna, kata orang Makassar.


    Grand Opening Roemah Masagena diadakan pada tahun 2022, masih terasa suasana Covid-19, kala itu. Karena mereka yang hadir rerata terlihat mengenakan masker. 


    Mohammad Istiqamah Djamad atau akrab disapa Is, dari Pusakata, tampil membawakan sejumlah lagu, termasuk lagu berbahasa Bugis. Selain memetik gitar, mantan vokalis Payung Teduh itu juga meniup seruling.


    Di lokasi di mana Roemah Masagena berdiri, sebelumnya bernama Kafe Masa Kini, berkonsep modern industrial. Sebelum itu, di tempat yang sama, terdapat Restoran Barugae, yang halamannya ditumbuhi rumpun bambu dengan baruga di beberapa sudutnya. 


    Ketika masih era Restoran Barugae, aktivis NGO kerap mengadakan diskusi di sini. Salah satu yang paling saya ingat adalah diskusi membahas pembentukan Ombudsman Makassar, oleh Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) yang dimotori Syamsuddin Alimsyah dkk.


    Di Roemah Masagena ini, saya dan teman-teman alumni Fakultas Hukum Unhas Angkatan '87 selama persiapan dan pelaksanaan Rapat Kerja (Raker), disuguhi aneka makanan tradisional yang mantap dewa. Barobbo, lawa jantung pisang, pallumara, burasa, barongko, dan berbagai makanan lain khas daerah ini. 


    Minumannya juga istimewa, selain kopi dan minuman kekinian, Roemah Masagena menyediakan teh sappang, yakni minuman herbal dari kayu secang (Caesalpinia sappan) yang kaya manfaat kesehatan. Minuman itu ditaruh di dalam ceret blirik jadul, yang bisa dituang sendiri di canteng dengan warna senada: hijau loreng.


    Tema tradisi yang diusung Roemah Masagena sudah terasa sejak pengunjung memasuki pintu utama. Terdapat tulisan berbahasa Bugis yang diterakan dengan aksara Lontaraq: resopa temmangngi namalomo naletei pammase Dewata. 


    Pepatah Bugis yang berarti "hanya dengan kerja keras tak kenal lelah, rahmat/berkah Tuhan akan mudah datang" ini, merupakan filosofi hidup yang menekankan kegigihan, ketekunan, dan berserah diri pada Sang Kuasa, dalam meraih kesuksesan.


    Setelah berada di dalam, perabotan dan dekorasi ruangan yang digunakan membawa kita pada suasana masa lalu nan artistik. Gerabah dan benda-benda dari anyaman bambu tertata apik. Kursi-kursi dan meja kayu yang kokoh dengan warna alami. 


    Ngobrol dalam ruangan seakrab itu bisa membuat kita betah berjam-jam. Apalagi bila ditemani kopi susu dan pisang peppek.


    Begitu Raker selesai digelar, Sabtu, 29 November 2025, kami pun meluncur, meninggalkan Makassar yang kuyup. Pembahasan seputar Pedoman Organisasi dan Program Kerja sudah rampung, berganti dengan obrolan ringan sepanjang perjalanan. 


    Hanya saja, hujan membuat beberapa teman urung ikut. Cuma Prof Andi Suriyaman Mustari Pide, Niny Savitri, Una Husain, Hamran, dan saya yang tetap keukeuh berangkat ke Malino.


    Prof Dr Andi Suriyaman Mustari Pide, SH, M.Hum, merupakan owner dari Roemah Masagena. Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat ini, mengaku banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya dalam mengembangkan konsep usahanya. 


    Kultur Bugis menjadi identitas dan kebanggaannya. Masagena sendiri merupakan kosakata dalam bahasa Bugis, yang berarti luas, lapang, berkecukupan. Tulisan Masagena selain dibuat menggunakan huruf Latin, juga didesain dengan aksara Lontaraq.


    Beruntung perjalanan 1,5 jam ke Malino, yang masuk Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, lancar jaya.


    Hujan lebat yang kami khawatirkan, ternyata tidak terjadi. Tak ada hujan selepas Samata hingga Malino. Kota Bunga itu seolah menyambut kami dengan ramah. 


    Kami langsung menuju Masagena Cottage 2 yang berada di Lingkungan Batulapisi Dalam. Teh hangat terasa nikmat begitu masuk ke kerongkongan, bagai membersihkan badan dari sisa-sisa dingin AC selama berkendara. Malam itu, kami menyantap sop konro dan nasu palekko. 


    Saya sengaja berjalan menyisir restoran tempat kami makan. Salah seorang karyawan menunjuk kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Katanya, itu adalah kawasan bendungan Bili-Bili. 


    Pemandangan dari sisi barat resto di Masagena Cottage 2 ini memang terasa indah dengan sapuan awan tipis di langit gelap.


    Setelah makan sambil ngobrol panjang, kami diajak ke Masagena Cottage 3. Hanya hitungan menit ke sana, dengan melewati jalan berkelok yang jadi ciri Malino. Sekadar berputar sebentar, kami langsung balik arah menuju Masagena Cottage 1. 


    Begitu tiba, masing-masing dari kami menuju kamar untuk menaruh barang, lalu diajak nyanyi-nyanyi di Masagena Coffee. Masagena Cottage 1 memang menawarkan beragam paket, mulai dari gathering, workshop, event, party, live music, hingga meeting room.


    Masagena Cottage 1 yang berada di Jalan Karaeng Pado, tak jauh dari lokasi Wisata Hutan Pinus ini, pernah jadi tempat acara kami, Reuni 30 Tahun Alumni Fakultas Hukum Unhas Angkatan '87, di tahun 2017. 


    Makanya, saya cukup mengenali bentuk bangunannya, meski sudah agak berubah dari sebelumnya, yang dibuat serupa rumah panggung.


    Saat pagi tiba, saya tak ingin melewatkan suasana Malino dengan segala kesibukannya. Saya melangkahkan kaki menuju Pasar Sentral Malino, yang berada di seberang jalan. 


    Saya mengabadikan beberapa pedagang yang menjual tenteng, dodol, markisa dan oleh-oleh lainnya, yang berderet di sepanjang jalan. Saya melihat kegesitan ibu-ibu yang menjual hasil bumi, seperti tomat, kentang, kol, bonte (mentimun), dan sayur-mayur yang dibawa dari Tombolo Pao.


    Ketika kembali melewati kamar-kamar di Masagena Cottage 1, saya menjepret nama-nama kamarnya dengan kamera smartphone. Semua namanya menggunakan bahasa Bugis, seperti Wanua, Siporio, Mattantu, Sipurennu, dan Sipammase.


    Kami sarapan nasi goreng, telur ayam, ikan goreng yang dilaburi sambal, ayam goreng, dan kerupuk. Obrolan pagi kian seru karena ditemani kopi hitam. Pembicaraan melompat dari satu topik ke topik lainnya.


    Saya sempat nyeletuk, kayaknya jarang kita menemukan suasana pagi sambil berbincang seperti ini. 


    Di zaman serba digital ini, kebanyakan dari kita menyambut hari dengan berselancaran di dunia maya. Perbincangan antar-anggota keluarga sudah jarang terlihat, masing-masing sibuk dengan telepon pintar di genggamannya.


    Setelah sarapan kami berkemas, menuju Masagena Cottage 3. Diam-diam saya memuji Prof Ruri, begitu sahabat kami ini disapa. Dia mampu memainkan kontur tanah dengan menghadirkan bangunan-bangunan berkonsep tradisional yang secara arsitektur indah. 


    Bangunan dengan warna dominan cokelat dan hijau itu menyatu dengan warna alam yang menghampar di depannya. Lanskap pegunungan di kejauhan menjadi spot foto yang tak bosan dieksplorasi. 


    Hebatnya lagi, ide bangunan-bangunan itu sepenuhnya dari Prof Ruri. Dia mengaku hanya berkomunikasi via WhatsApp dengan tukangnya, yang notabene bukan seorang arsitek. Dari situ, dia mengarahkan, mengoreksi, sebagaimana yang ada dalam imajinasinya.


    Setelah puas berfoto-foto di Masagena Cottage 3, yang bersebelahan dengan Kampung Eropa, kami diajak ngeteh di Roemah Makan Tradisional. Terdapat 2 gumbang besar di sisi kiri dan kanan rumah makan ini, dengan tungku dan kayu-kayu sebagai bahan bakarnya. Tentu saja itu bukan sekadar pajangan, atau pemanis, tetapi penanda komitmen pemiliknya merawat tradisi dan budaya.


    Di depannya ada gerobak, semacam angkringan, yang menyediakan pallu basa. Saya sempat melirik tulisan di salah satu dindingnya. Bunyinya, "Budaya Abadi, Generasi Berkarya." Rumah makan ini, jika dilihat dari Masagena Cottage 3, seolah menyatu dengan deretan bangunan yang ada di situ. Padahal tidak.


    Di area Masagena Cottage 3, pernah pula diadakan Masagena TraditionArt Exhibition, pada Desember 2021. Pada event tersebut diadakan parade kebudayaan yang menampilkan beragam atraksi dan pertunjukan.


    Dari Masagena Cottage 3 kami kembali ke Masagena Cottage 2. Berkali-kali kami ditawari makan oleh Prof Ruri, tetapi seluruh lambung kami rasa-rasanya sudah penuh. Kompromi kemudian ditempuh, saat ditawari "intel" alias indomie telur. Menu ini jadi penutup perjalanan  kami selama di Malino. 


    "Deceng enrekki ri bola tejjali tettapere banna mase" ~ Masagena. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini