![]() |
| Sesi foto bersama peserta Dialog Publik yang dugelar Yayasan Pendidikan Ujung Pandang (YPUP) pada Sabtu, 20 Desember 2025 dengan tema “Membaca, Membaca, Berbicara”. (Ist) |
Yayasan Pendidikan Ujung Pandang (YPUP) menggelar Dialog Publik pada Sabtu, 20 Desember 2025 dengan tema “Membaca, Membaca, Berbicara”.
Kegiatan ini menjadi ruang refleksi bersama untuk menumbuhkan kembali semangat literasi di kalangan mahasiswa dan pegiat pendidikan di Kota Makassar.
Dialog publik ini menghadirkan perwakilan dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) YPUP, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YPUP, Duta Baca Nusantara Sulawesi Selatan, Rumah Literasi, serta sejumlah pegiat literasi dari berbagai kampus di Makassar.
Kehadiran beragam unsur tersebut menunjukkan bahwa literasi adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya tugas satu institusi.
Pemateri pertama, Akbar Yusuf, S.Pd, M.Pd selaku Wakil Ketua III (WK3) STKIP YPUP Makassar, menegaskan pentingnya kegiatan dialog publik seperti ini, terutama dalam konteks rendahnya minat baca mahasiswa. Ia mengingatkan bahwa membaca memiliki landasan spiritual yang kuat.
“Apalagi dalam agama kami, wahyu pertama yang turun adalah perintah membaca. Iqro’, bacalah,” ungkapnya.
Pemateri kedua, Kartini dari Duta Baca Nusantara Sulawesi Selatan, menyoroti fenomena literasi di era digital.
Menurutnya, banyak orang hari ini lebih mudah mempercayai informasi dari media sosial dibandingkan pendapat para pakar di bidangnya masing-masing.
“Kita sering membaca, tapi tidak selalu kritis. Ini tantangan besar literasi kita saat ini,” jelasnya.
Ketua Panitia, Irwan, mahasiswa STKIP YPUP, menyampaikan pesan sederhana namun mendalam. Ia menekankan bahwa buku adalah sahabat terbaik dalam kehidupan intelektual.
“Kawan yang baik adalah buku. Kawan berpikir adalah buku. Dan buku tidak pernah menyakiti atau membuat kita terluka. Maka bacalah buku,” tuturnya.
Sementara itu, moderator kegiatan, Dzul Rajali, mahasiswa STKIP YPUP sekaligus Ketua Rumah Literasi, memperluas makna membaca.
Menurutnya, membaca tidak selalu identik dengan teks.
“Membaca bukan selamanya membaca buku, tetapi membaca situasi dan kondisi juga bagian dari membaca,” katanya.
Pandangan menarik juga disampaikan oleh Firdaus, Founder Daeng Berdampak. Ia mengkritisi cara membaca sebagian besar masyarakat yang masih berada pada level dasar.
“Semua orang pasti sudah tahu membaca, tapi masih di level membaca seperti semut. Semut itu hanya mengumpulkan makanan. Belum naik ke level lebah, yang mampu mengolah sari pati bunga menjadi madu yang bermanfaat untuk orang banyak,” pungkas Firdaus. (*)


