• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Soeharto: Siluet Kekuasaan dan Bayang Sejarah

    Ahmadin
    10/11/2025, 8:51 AM WIB Last Updated 2025-11-10T00:52:10Z

     



    Oleh: Muhammad Burhanuddin

    (Ketua Umum PP Garuda AstaCita Nusantara)


    Sejarah Indonesia adalah jalan panjang yang berlapis cahaya dan bayangan, penuh jasa dan retak, harapan dan kesalahan. Di antara nama-nama besar yang mewarnai perjalanan republik ini, Soeharto menempati ruang yang tak bisa disangkal — seorang prajurit yang menata kembali arah bangsa dari kekacauan, pemimpin yang membangun pondasi ekonomi, sekaligus manusia yang menghadapi kompleksitas kekuasaan.


    Orde Baru lahir dari reruntuhan masa genting pasca 1965. Negeri yang terbelah oleh ideologi, dihempas inflasi dan ketakutan, menanti sosok yang mampu menenangkan gejolak. Dalam kesenyapan yang strategis, Soeharto muncul membawa janji ketertiban. Ia tidak tampil dengan retorika, melainkan dengan kerja nyata. Dan bangsa yang kelelahan oleh pergolakan segera menemukan harapan pada ketegasan dan kestabilannya.


    Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia bergerak di bawah kepemimpinannya: dari negara agraris menuju negara yang mulai menatap industrialisasi, dari ketergantungan pangan menuju swasembada beras yang diakui dunia, dari diplomasi pasif menuju posisi terhormat di antara negara-negara nonblok. Soeharto membangun fondasi ekonomi modern Indonesia — jalan raya Trans-Jawa dan Trans-Sumatera, waduk dan bendungan, sekolah dasar Inpres, hingga pusat-pusat pertanian yang menghidupi jutaan rakyat.


    Pembangunan itu bukan sekadar statistik; ia adalah pengalaman kolektif rakyat. Banyak yang untuk pertama kalinya mengenal listrik, jalan beraspal, dan rasa aman setelah dekade penuh ketidakpastian. Ia melahirkan generasi yang meyakini bahwa negara bisa hadir sebagai penjamin kesejahteraan. Dalam konteks inilah, jasa Soeharto tak bisa dihapuskan dari sejarah bangsa — sebab ia tidak hanya membangun negara, tapi juga membangun rasa percaya diri nasional.


    Namun, sejarah tidak pernah tunggal. Di balik pembangunan yang megah, tumbuh pula bayang kelam: kontrol politik yang ketat, kebebasan yang dibatasi, dan kekuasaan yang terpusat terlalu lama di satu tangan. Akan tetapi, bahkan dalam kritik itu, bangsa ini tak bisa menolak fakta bahwa stabilitas yang diciptakan Orde Baru memberi ruang bagi lahirnya generasi terdidik, terbentuknya infrastruktur nasional, dan terbangunnya fondasi ekonomi yang kelak menopang masa reformasi.


    Karena itu, wacana tentang kelayakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional perlu ditempatkan dalam bingkai sejarah yang utuh, bukan hitam putih. Kepahlawanan bukan berarti tanpa cela, melainkan pengakuan atas kontribusi yang menentukan dalam perjalanan bangsa. Seperti halnya para pemimpin besar dunia — dari tokoh revolusi hingga negarawan — Soeharto memiliki peran monumental dalam membentuk arah dan identitas Indonesia modern.


    Kita bisa berdebat tentang cara, tetapi sulit menolak hasil: kemajuan pertanian, stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan posisi diplomatik yang dihormati di kancah global. Ia memimpin bangsa ini melewati masa-masa paling rapuh dalam sejarahnya — menjaga agar republik tidak terpecah oleh konflik ideologis dan pergolakan sosial. Dalam bahasa sejarah, perannya bukan sekadar administratif, melainkan transformasional.


    Menolak jasa Soeharto berarti menutup mata terhadap sebagian besar perjalanan pembangunan bangsa. Ia bukan hanya pemimpin, tetapi juga simbol masa ketika Indonesia belajar berjalan dengan keyakinan baru. Dalam kerangka kebangsaan, pengakuan terhadap jasanya bukan glorifikasi, melainkan bentuk kedewasaan bangsa dalam membaca sejarah secara adil.


    Kini, setelah dua dekade lebih sejak ia menutup mata, bayangan Soeharto masih menyentuh kesadaran publik — diingat dengan rindu oleh sebagian, disikapi kritis oleh sebagian lain. Tapi sejarah bukan ruang untuk membenci atau mengagungkan. Ia adalah ruang untuk menimbang dengan kepala dingin dan hati jernih. Jika Soeharto diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, itu bukan semata soal penghormatan pada sosok, tetapi pada era dan kontribusi besar yang menandai kemajuan bangsa ini.


    Soeharto menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak selalu bersumber dari pidato, tapi dari kemampuan menciptakan arah di tengah kekacauan. Ia mengajarkan disiplin, keteguhan, dan pandangan jauh ke depan — nilai-nilai yang tetap relevan dalam pembangunan bangsa hari ini. Dalam dirinya, ada pelajaran penting bahwa membangun negeri bukan hanya tentang visi, tapi juga tentang ketekunan menjaga kestabilan di tengah badai.


    Mungkin, seperti bayang senja di tembok waktu, Soeharto telah menjadi siluet — bukan dewa, bukan pula dosa, tapi jejak manusia yang berani memikul beban sejarah bangsanya. Dan jika bangsa ini akhirnya mengakui jasanya dalam gelar kepahlawanan, itu bukan karena melupakan bayang kelam, melainkan karena berani berdamai dengan sejarah: menghormati yang telah dibangun, mengingat yang harus diperbaiki, dan melangkah dengan kesadaran baru.


    Karena bangsa yang besar bukan bangsa tanpa kesalahan, tetapi bangsa yang mampu menatap masa lalunya dengan jujur dan arif — sebagaimana kita menatap siluet Soeharto di cakrawala sejarah, antara jasa dan bayang, antara manusia dan waktu. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini