![]() |
| Penulis saat berada di salah satu gelery di Jalan Darmawangsa Raya, Jakarta. (Ist) |
Oleh: Rusdin Tompo
(Penulis, dan Pegiat Literasi)
Saya pernah memutuskan untuk tidak lagi naik pesawat, akibat hidung saya mengalami pendarahan hebat. Darah bahkan keluar beberapa hari setiap kali saya membuang ingus. Padahal, saya tidak sedang flu. Peristiwa itu terjadi sekira 20 tahun lalu, dalam suatu penerbangan dari Makassar ke Surabaya.
Kisah ini saya tulis di Terminal 1C Gate C6 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Provinsi Banten, Rabu, 19 November 2025. Saya selalu mengingat drama penerbangan itu, karena terasa menghantui saya setiap akan terbang dengan moda transportasi udara.
Sambil menunggu penerbangan dengan Citilink nomor penerbangan QG 426, pukul 17.20 wita, saya mulai memainkan jemari pada keyboard Samsung Galaxy A13 yang jadi teman saya dalam aktivitas sehari-hari.
Sore itu, saya akan kembali ke Makassar, setelah mengikuti Uji Publik Hasil Penelitian Nasional Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Penggolongan Usia Penonton Film pada Platform OTT (Over-The-Top) di Indonesia Tahun 2025.
Kegiatan uji publik ini diadakan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, di Hotel Sutasoma, Jalan Darmawangsa Raya, Jakarta Selatan, Senin-Rabu, 17-19 November 2025.
Saya mencoba mengingat-ingat lagi peristiwa-peristiwa itu--potongan-potongan perjalanan yang sempat membuat saya diliputi perasaan cemas. Ini semacam drama suspense di mana ada ketegangan, kecemasan, dan situasi ketidakpastian di ujung cerita. Perasaan itu biasanya secara perlahan akan meningkat mencapai suatu titik tertentu.
Alhamdulillah, biasanya saya bisa meredam situasi itu dengan beristigfar, dan menggumamkan surah-surah pendek. Setelah itu, saya membuat diri lebih rileks agar bisa menikmati perjalanan.
Peristiwa penuh drama itu bermula saat saya diundang oleh Vicky Agung Wibisono dari Plan Indonesia dalam kegiatan yang berkaitan dengan isu pekerja anak. Dari Makassar, saya berangkat bersama AJ Sudarto, Kepala Plan Indonesia Program Unit Makassar, dan teman aktivis, M Ghufran H Kordi K. Kami bertiga satu pesawat. Kalau tidak salah ingat, kala itu, maskapai Adam Air.
Kegiatan yang kami ikuti itu diselenggarakan di Tretes, yang merupakan kawasan wisata, berada di Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Setelah pesawat mendarat di Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil carteran ke Tretes, yang jadi lokasi kegiatan.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hampir 1,5 jam, saya, Pak Darto, dan Pak Ghufran, terlibat obrolan. Macam-macam yang kami bicarakan. Belakangan, saya tak lagi ikut ngobrol. Mata saya seperti diserang kantuk berat. Namun, suara Pak Darto dan Pak Ghufran masih bisa saya dengar. Cuma saya tak bisa lagi nimbrung.
Tiba di lokasi, saya langsung menuju wastafel. Hidung saya seperti tersumbat. Begitu saya memompakan udara keluar dari hidung, yang muncrat ternyata berupa darah. Saya terus memompakan udara dari hidung, hingga cairan yang keluar tak lagi dominan berwarna merah.
Kemudian, saya ke resepsionis untuk check ini, lalu ke kamar menaruh barang.
Persoalan hidung yang mengeluarkan darah ini, sama sekali tidak mengganggu saya mengikuti kegiatan. Namun, saya sempat menceritakan ini kepada Pak Agung, sebagai yang punya hajatan. Cerita yang sama saya sampaikan kepada Pak Darto dan Pak Ghufran.
Saya menduga, mungkin penyebabnya saat terjadi turbulensi dalam penerbangan Makassar-Surabaya itu. Ketika itu, saya tengah keluar dari toilet untuk kembali ke seat saya. Namun ada guncangan, yang membuat saya sempat oleng, sehingga harus berpegangan pada sandaran kursi yang dilewati.
Akibatnya, saya putuskan tidak naik pesawat saat dari Surabaya kembali ke Makassar. Namun karena jadwal kapal Pelni, tidak ada pada hari di mana kegiatan Plan Indonesia berakhir maka saya mesti nginap di hotel yang berada dekat Jembatan Merah. Mengapa itu saya lakukan? Ya sebab dari hidung saya masih keluar darah. Bahkan setelah saya tiba di Makassar, kondisinya masih sama.
Khawatir bahwa ini akan mengancam jiwa saya, sejak itu saya putuskan untuk tidak lagi naik pesawat. Sempat, satu tahun saya tidak naik pesawat, meski ada undangan kegiatan ke luar daerah.
Hanya saja, setelah dipikir-pikir, keputusan ini tidak akan menguntungkan bagi pengembangan diri saya. Padahal, di luar sana, ada banyak kesempatan menimba ilmu dan pengalaman. Juga ruang bagi saya untuk berbagi pandangan, terkait isu yang jadi fokus saya: anak dan media.
Saya menimbang-nimbang untuk kembali terbang dengan pesawat, saat datang undangan kegiatan yang membahas isu PRT/PRTA (Pekerja Rumah Tangga/Pekerja Rumah Tangga Anak) dari Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), Yogyakarta. Setelah itu, saya memberanikan diri naik pesawat, walau diliputi was-was.
Drama 15 menit itu pun terjadi, dan berulang. Bagi pilot dan awak kabin, situasi 15 menit sebelum pesawat mendarat memang waktu yang krusial. Karena pesawat mulai turun dari ketinggian jelajah menuju landasan pacu.
Biasanya awak kabin akan meminta penumpang bersiap-siap: mengencangkan sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi, menutup jendela, dan memastikan barang kabin aman. Pilot akan meminta izin mendarat di tower kontrol, dan sering kali pesawat akan berputar sebentar (holding) bila ada antrean.
Bagi saya, 15 menit sebelum pesawat mendarat, juga merupakan waktu yang dramatis. Biasanya saya mulai merasakan ketegangan di bagian kepala. Perlahan-lahan syaraf-syaraf kepala saya terasa nyeri.
Dalam situasi seperti itu, saya hanya bisa memejamkan mata. Menahan sakitnya. Sambil istigfar, berdoa, membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Dalam kepasrahan itu, air mata saya perlahan menetes. Bukan karena sedih atau menangis. Air mata itu sebentuk penyerahan diri, pelepasan, agar perasaan saya plong.
Bila saya berbagi cerita soal ketegangan selama di pesawat, terutama di bagian kepala, kepada seseorang yang jadi teman di perjalanan, maka orang tersebut akan memberi kiat-kiat tertentu. Dan itu sudah saya coba lakukan, tetapi selalu tidak berhasil.
Saya misalnya, diberi tip agar menggerak-gerakkan rahang dan mulut agar mengurangi ketegangan. Juga saran supaya mengunyah permen karet, biar lebih rileks. Tentu saja semua nasihat itu saya ikut, tetapi lagi-lagi tidak membantu mengurangi rasa nyeri di kepala saya.
Karena saya sadar bahwa ketegangan terjadi menjelang 15 menit pendaratan maka saya selalu mengantisipasi dengan tidak menaiki pesawat yang punya rute transit. Sebab bila ada transitnya, berarti saya dua kali menghadapi drama ketegangan menjelang pesawat landing.
Beruntung, ada solusi yang sedikit membantu. Saya diminta menutup telinga, dan pilihannya jatuh pada kapas. Setelah mendapat info itu, saya pun selalu membawa kapas kasa setiap bepergian dengan pesawat.
Dalam kaitan dengan tulisan ini, saya membaca artikel yang membahas soal barotrauma, yakni cedera yang terjadi akibat perubahan tejanan udara secara mendadak. Kondisi ini, katanya, bisa terjadi pada penyelam atau seseorang yang rutin bepergian dengan pesawat. Barotrauma telinga (airplane ear) ditandai dengan kuping yang terasa pengang atau bising. Kadang malah saya merasa kuping seperti tersumbat.
Bekal kapas itu saya taruh di dalam tas, lalu saya kantongi secukupnya saat berada di pesawat. Sebelum pesawat take off, saya sudah membuat bola-bola kapas yang nanti dipakai sebagai penutup lubang kuping. Kapas itu akan tetap saya gunakan, hingga pesawat mendarat di suatu bandara.
Sayangnya, pernah beberapa kali saya lupa membawa kapas yang teramat penting itu. Apa boleh buat, tindakan darurat harus saya ambil. Jadi, saat saya lupa membawa kapas maka terpaksa saya memanfaatkan tisu toilet. Potongan tisu itu saya gulung agak kecil supaya bisa saya sumbatkan ke telinga.
Pernah pula, saya meminta kapas dari seorang oma, setelah melihat oma itu mengeluarkan kapas dari tas jinjingnya. Mata saya cukup jeli, kala itu. Padahal oma tersebut duduk di sebelah lorong, dan agak di depan dari kursi saya.
Kisah "hand made" penyumbat telinga dari kapas ini berakhir setelah saya diberi ear plug oleh Rusdy Sudin, staf kami di KPID Sulawesi Selatan. Rupanya, dia berempati pada saya ketika saya menceritakan pengalaman tidak mengenakkan gegara kerap disergap ketegangan selama penerbangan.
Rusdy Sudin, yang ketika itu merupakan Humas KPID Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa kakak iparnya yang kerja PT Inco (sekarang PT Vale Indonesia) punya penutup kuping. Penutup kuping itu biasa dipakai saat kerja di workshop/bengkel atau lokasi kerja dengan tingkat kebisingan tinggi.
Alat yang terbuat dari busa atau silikon ini sangat membantu saya, dan lebih nyaman saat dimasukkan ke dalam liang telinga. Bahannya yang lembut membuat telingat tidak sakit. Apalagi warnanya yang orange ngejreng, membuatnya terasa gaya saat dipakai.
Cuma saya beberapa kali ditegur pramugari, yang menyangka alat penyumbat telinga itu sebagai headset. Dikiranya, saya menggunakan headset yang merupakan perangkat audio sehingga memungkinkan saya mendengarkan suara sekaligus berbicara. Padahal hanya penyumbat kuping yang membantu saya tetap nyaman selama penerbangan. (*)


