![]() |
| Penulis di lokasi Pameran Arsip Skena Musik 1869-2025 di Museum Kota Makassar, 25-31 Oktober 2025. (Ist) |
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Lagu "Anging Mammiri" l l identik dengan Kota Makassar. Bukan saja karena lagu itu berbahasa daerah Makassar tetapi lantaran ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu dijuluki sebagai Kota Anging Mammiri--di samping julukan lainnya: Kota Daeng.
Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pernah ada nona-nona Ambon merekam lagu "Anging Mammiri" di Lokananta, Surakarta. Saya pun demikian. Sungguh suatu surprise bagi saya!
Saya mengetahui ada nona-nona Ambon yang mendendangkan lagu "Anging Mammiri", saat mengunjungi Pameran Arsip Skena Musik 1869-2025 di Museum Kota Makassar, 25-31 Oktober 2025. Pameran yang merupakan rangkaian dari Prolog Festival ini diselenggarakan atas kerja sama Dinas Kebudayaan Kota Makassar dan Prolog Ecosystem.
Lagu "Anging Mammiri" yang dinyanyikan dengan gaya khas orang Ambon itu, direkam bukan di pita kaset, melainkan di atas piringan hitam. Pada piringan hitam tersebut tertulis Radio Republik Indonesia (RRI), Recording Department, LOKANANTA. Logo RRI-nya masih era pertama, berbentuk seperti candi.
Ada pula tulisan Makasar (dengan satu "S") dan angka 78 di bawahnya, yang berarti format kecepatannya 78 RPM. Tercantum nomor katalog/rekaman AD-223/S 939 LK. Informasi lain berupa judul lagu "Anging Mamiri", pencipta NN (no name), dinyanyikan oleh Meity Joseph dkk, Orkes Mardja-Redja, di bawah pimpinan Mariana Latuheru.
Selain "Anging Mammiri", Meity Joseph dkk juga membawakan lagu berbahasa Makassar, "Muri-Muria", di piringan hitam yang sama. Piringan hitam ini memang hanya berisi 2 lagu, masing-masing 1 lagu pada setiap sisinya.
Saya dan pengunjung pameran lantas diperdengarkan lagu "Anging Mammiri" versi penyanyi Ambon itu. Teringat kemudian Lex Trio dan Patty Sisters. Karena ada pembagian suara, mirip vokal grup, yang jadi kekuatan kelompok vokal tersebut.
Dan ternyata benar saja. Patty Sisters--duo perempuan bersaudara yang muncul sejak tahun 1961--rupanya pernah pula membawakan lagu "Anging Mammiri", yang bisa didengar di channel YouTube Patty Sisters - Topik.
Saya yakin ini pun tak banyak yang ingat. Kalau dalam album Amboina Serenade yang diproduksi oleh Granada Record exclusive licenses to Warner Music Indonesia, tahun 1984, terdapat lagu legendaris itu, "Anging Mammiri".
Informasi tentang lagu "Anging Mammiri" yang dibawakan oleh Meity Josep dkk itu, bisa pula ditemukan di iramanusantara.org. Pada laman situs web yang melakukan upaya pelestarian dan pengarsipan data dan informasi musik populer Indinesia ini, malah disertakan sampul piringan hitam dengan wajah-wajah penyanyi dan musisinya.
Bukan cuma penyanyi, tetapi juga kelompok musiknya juga ternyata orang Ambon, bila dilihat dari marganya, Mariana Latuheru. Walaupun nama grupnya orkes Maredja-Redja, berbahasa Makassar.
Kolektor sekaligus kurator Pameran Skena Musik, Ansar Mulkin Bas, lantas memperdengarkan lagu "Anging Mammiri" pada piringan hitam itu yang diputar melalui gramofonnya. Pemilik Celebes Vintage ini mengungkapkan, kualitas suaranya tidak terlalu baik lantaran usia alat pemutarnya sudah agak aus.
Meski begitu kita menjadi tahu peran dan kontribusi penyanyi dan musisi asal Ambon dan Maluku dalam kemajuan lagu-lagu daerah Makassar. Sehingga pameran ini menjadi penting guna merawat warisan ingatan warga lewat benda, teks, bunyi, foto, dan video terkait musik, termasuk grup musik dan peralatan musik di masanya.
Orang-orang Ambon punya sejarah panjang di Makassar. Di kota ini, mereka punya perkampungan sendiri yang dikenal dengan nama Ambon Kamp. Ambon Kamp ini bukan cuma satu, tetapi berada di tiga lokasi berbeda.
Pertama, di Maricaya, Jalan Gunung Nona, belakang Latanete Plaza. Kedua, di Mattoanging, di Jalan Bangau, dekat kolam renang Mattoanging. Ketiga, di kampung Mariso. Walau punya perkampungan sendiri tetapi mereka berbaur dengan masyarakat setempat.
Sejumlah tokoh, olahragawan, dan seniman lahir dari sini, sebut saja pesepak bola Nus Pattinasarani, yang bermain di PSM Makassar era Ramang. Juga nama Ronny dan Donny Pattinasarani yang pernah membela kesebelasan Juku Eja. Penyanyi Andre Hehanusa juga tercatat lahir dan besar di Makassar, serta perupa Dicky Tjandra.
Lorong Waktu Lagu-Lagu Nusantara
Lokananta merupakan nama yang pasti ditemukan begitu kita menelusuri jejak sejarah industri musik di Indonesia. Bagaimana tidak. Lokananta adalah studio rekaman atau studio musik pertama di Tanah Air (kemenpar.go.id).
"Lokananta" dalam bahasa Sansekerta artinya gamelan dari kayangan yang bersuara merdu. Awalnya, studio yang berdiri tahun 1955 di Surakarta (Solo) ini, hanya digunakan untuk merekam dan memproduksi piringan hitam guna keperluaran siaran internal RRI yang tersebar di 26 stasiun se-Indonesia.
Memasuki tahun 1958, Lokananta mulai memproduksi lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia. Misalnya, lagu Melayu Banjar, "Ampar-Ampar Pisang", lagu Minang, "Sansaro Badan", lagu Batak, "Butet", dan lagu Melayu, "Seringgit Dua Kupang", semuanya direkam di situ.
Dari khazanah lagu Maluku, ada lagu "Mande-Mande" dan "Sarinande" yang dinyanyikan Bob Tutupoly. Rekaman dengan iringan orkes Didy Pattirane itu dibuat tahun 1959. Sedangkan lagu "Anging Mammiri" yang dibawakan Meity Joseph, dengan iringan orkes Maredja-Redja diperkirakan juga direkam pada tahun yang sama.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 215 Tahun 1961, Studio Lokananta berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN), dengan nama baru PN Lokananta. Bidang usahanya diperluas menjadi label rekaman yang berfokus pada karya lagu-lagu daerah, serta pertunjukan seni dan penerbitan buku dan majalah.
Ketika Indonesia didaulat sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta, tahun 1962, Lokananta punya peran penting dalam diplomasi budaya. Sejumlah lagu daerah, seperti "Rasa Sayange", direkam pada piringan hitam kemudian dijadikan cendera mata untuk dibagikan kepada setiap kontingen pesta olahraga negara-negara se-Asia itu (indonesia.go.id).
Sejumlah penyanyi dan musisi legendaris Indonesia pernah rekaman di Lokananta, antara lain Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, dan Buby Chen. Berpuluh-puluh tahun berlalu, nama Lokananta meredup. Nanti terdengar kembali setelah White Shoes and the Couples Company dan Glenn Fedly--penyanyi dan pencipta lagu berdarah Maluku--rekaman di studio bersejarah itu.
Lokananta disebut sebagai lorong waktu musik Indonesia, dengan aset berupa kekayaan data, arsip, dan koleksi rekaman piringan hitam. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni mencapai 53.000 piringan hitam, dan 5.670 master rekaman bersejarah, di antaranya lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Di situ tersimpan master rekaman lagu Minang, Batak, Maluku, Sumatra, Jawa hingga Makassar. Semuanya masih tersimpan baik dalam rak-rak besi dengan pengaturan suhu guna menjaga kelestariannya.
Penciptanya dari Korps Musik Militer
Bora Daeng Irate disebut sebagai pencipta lagu "Anging Mammiri". Lagu yang diciptakan tahun 1940an itu bercerita tentang kerinduan seseorang karena terpisah jauh dari kekasihnya. Konon, syair lagu ini berasal dari syair di buku Lontara Mangkasarak, berintikan ilmu pesona, penarik perhatian (Yudhistira Sukatanya dan Goenawan Monoharto [ed.], 2000).
Saat itu, anggota Korps Musik militer ini masih berusia sekira 39an tahun. Sebagai anggota militer; Bora Daeng Irate pernah tergabung dalam Batalion 718 pimpinan Kolonel Makkang Sibali. Lelaki yang akrab dipanggil Tetta ini merupakan pemimpin Orkes Daerah Baji Minasa, di mana Andi Siti Nurhani Sapada pernah bergabung antara tahun 1948-1951.
Lagu "Anging Mammiri", ciptaan Bora Daeng Irate, tak bisa dilepaskan dari salah satu seniman besar Sulawesi Selatan yang namanya biasa disingkat Asnida itu. Andi Siti Nurhani Sapada (1929-2010), yang pernah jadi penari istana di masa Presiden Soekarno, inilah yang pertama kali mempopulerkan lagu tersebut. Dia bahkan mengembangkan lagu itu menjadi Tari Anging Mammiri.
Lagu "Anging Mammiri" kian tenar setelah Andi Kesuma membawakan lagu ini dalam film Prajurit Tauladan, tahun 1957 (Nasaruddin Koro, 2009). Film ini merupakan film pertama yang diproduksi di Makassar, dengan melibatkan pemain-pemain teater di masa itu.
Peran RRI Makassar juga terbilang besar dalam memasyarakatkan lagu "Anging Mammiri" melalui program pilihan pendengar. Sebab fans bukan cuma dapat berkomunikasi lewat udara tetapi juga saling berkirim lagu, termasuk lagu-lagu berbahasa daerah Makassar.
Lagu yang begitu populer sejak era 50-an ini pernah dinyanyikan oleh sejumlah penyanyi, baik lokal maupun nasional. Murtini Suharto (Daeng Te'ne), Emmi Umar, Sulami, Darna Yakung, hingga Andi Meriem Mattalatta dan Maya Rumantir pernah menyanyikannya.
Pada platform digital kita bahkan bisa menikmati "Anging Mammiri" dalam ragam suara, mulai dari Iwan Tompo, Arshinta P Azis, hingga versi Twilite Orchestra yang dibawakan oleh Addie MS feat Veronica Tan, mantan istri Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang kini menjabat Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Kabinet Prabowo-Gibran.
Lagu "Anging Mammiri" sudah direkam di piringan hitam, pita kaset, dalam bentuk CD, VCD, hingga DVD. Dan entah sudah berapa penyanyi bikin cover version-nya, dengan gaya dan genrenya masing-masing sebagai bentuk apresiasi, sehingga membuatnya ever lasting. (*)


