![]() |
| Andi Colly Poji (kanan) dan Cindi Regisdita, dari Perpustakaan Macakka, berpose setelah menerima Piagam Juara II dalam Festival Literasi Sulawesi Selatan 2025. (Ist) |
Oleh: Rusdin Tompo
(Penulis, Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Takjub. Itu kesan saya begitu melihat name tag beraksara Lontaraq yang dikenakan perempuan berhijab yang mengenakan aksesori kembang goyang di kepalanya.
"Kenapa kita menggunakan nama beraksara Lontaraq," tanya saya, kepo.
"Karena nama saya berbahasa Bugis," jawabnya dengan senyum mengembang.
"Siapa nama ta?" tanya saya lagi.
"Andi Colly Poji," jawabnya singkat.
Nama perempuan kelahiran Welonge, 22 Mei 1989, ini langsung mengingatkan saya pada Colliq Pujie. Bukan suatu kebetulan. Saya, katakan, tengah menyelesaikan membaca novel karya Alan TH berjudul "Colliq Pujie" (April 2025)--persis seperti namanya. Novel ini merupakan buku kedua dari trilogi berlatar sejarah Sulawesi Selatan abad ke-19, era kolonialisme Belanda.
Buku pertama berjudul "Matthes" (November 2024), berkisah tentang Dr Benyamin Frederik Matthes ahli bahasa yang juga seorang pendeta, yang semula tak mengenal wilayah Celebes Selatan. Namun, Lembaga Alkitab Belanda mengirimnya ke Makassar untuk kepentingan penyebaran agama. Dalam aktivitas misionarisnya itu, Matthes bertemu dengan Colliq Pujie--tokoh kunci dalam penulisan kembali Sureq Galigo atau La Galigo.
Saya sempat bertemu Alan TH saat perhelatan Makassar International Write Festival (MIWF), 2025, di Fort Rotterdam. Saat itu, saya bersama Goenawan Monoharto, Armin Mustamin Toputiri, dan Prof Firdaus Muhammad, menghadiri diskusi bukunya, "Colliq Pujie".
Saya bertambah kagum pada Andi Colly, setelah mengetahui bahwa kehadirannya di Festival Literasi Sulawesi Selatan 2025 karena perpustakaan desa yang dikelolanya keluar sebagai salah satu pemenang. Artinya, dia datang untuk menerima hadiah dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusarsip) Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai yang punya hajatan.
Festival literasi yang diadakan atas dukungan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI ini, berlangsung selama dua hari, Selasa-Rabu, 21-22 Oktober 2025. Saya hadir karena ada stan SATUPENA Sulawesi Selatan, yang menggandeng teman pemilik kedai buku dan penerbit untuk menjual buku-buku terbitannya.
Setelah penyerahan piagam kepada para pemenang oleh Plt Dispusarsip Provinsi Sulawesi Selatan, Prof Muhammad Jufri, kami pun ngobrol. Saya merekam perbincangan kami menggunakan smarphone, sementara Andi Colly dan temannya, Cindi Regisdita, memvideokannya untuk kepentingan akun medsos mereka.
"Saya tiga bersaudara, punya nama bernuansa Bugis semua: Andi Colly Poji, Andi Jayani Tadampali, dan Andi Thariza Nagauleng. Secara garis keturunan, kami punya hubungan dengan raja pertama di kecamatan kami, yakni Datu Malleleang. Saya adalah garis keturunan keenam," terang Andi Colly.
Saat kecil, namanya masih Andi Wiwi Pratiwi. Namun, nama itu diganti oleh ibunya atas saran kakeknya, H Andi Palenne Arung Lolo Bin Petta Celleng Bin Datu Melleleang. Kakeknya ini dari garis keturunan nenek perempuannya. Kakek dan neneknya menikah sepupuan jadi tetap satu garis keturunan dari Raja Marioriawa Datu Malleleang.
Semula, katanya, dia belum tahu, kenapa
nama Andi Colly Poji itu disematkan padanya. Karena, secara harfiah, dalam bahasa Bugis, "colliq" itu berarti pucuk. Jadi dahulu, semasa sekolah, semua buah-buahan dikaitkan dengan nama saya. Misalnya, colliq otti (pucuk pisang) atau colliq pao (pucuk mangga).
Kala itu, kisahnya, dia kerap jadi bahan olok-olokan (bullying). Itu yang membuat dia tidak pernah pede. Kepercayaan dirinya tumbuh, saat kelas 1 Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Yasrib, Watan Soppeng.
"Ada guru saya menyampaikan bahwa Colliq Pujie itu bukan tokoh biasa. Setelah itu, saya cari tahu lebih jauh, dan ternyata benar. Saya pun percaya diri. Karena saya merasa nama ini special bagi saya," kenangnya dengan mata berbinar-binar.
Colliq Pujie merupakan putri La Rumpang Megga, Datu Tanete ke-19. Nama lengkapnya: Colliq Pujie Arung Pancana. Ia ratu Pancana di kerajaan Tanete. Menurut Matthes, Colliq Pujie merupakan intelektual Bugis yang mahir berbahasa Melayu dan Arab.
Matthes meminta tolong pada Colliq Pujie untuk menyalin naskah-naskah La Galigo yang tersebar di masyarakat. Upaya penyalinan dalam aksara Lontaraq ini berlangsung selama 10 tahun (Nurhayati Rahman, 2024).
Karya monumental berupa wiracarita La Galigo, yang terdiri dari 12 jilid tersebut, masih tersimpan di Perpustakaan Unuversitas Leiden, Belanda. Epos La Galigo diakui sebagai Memory of the World oleh badan PBB, Unesco.
"Setelah mengetahui, siapa itu Colliq Pujie, membuat saya bertekad memajukan perpustakaan. Apalagi nama saya, boleh dikata, identik dengan namanya. Saya benar-benar terinspirasi oleh Colliq Pujie, yang seorang pahlawan literasi," papar Andi Colly optimis.
Dia pun tergerak untuk meneruskan perjuangan Colliq Pujie melalui Perpustakaan Maccaka, Desa Tellulimpoe, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng, Provinsi Silawesi Selatan.
"Saya bukan saja punya satu name tag tetapi ada empat. Sebab, terkadang saya lupa di mana saya simpan name tag itu. Jadi kalau lupa atau tercecer, saya masih punya banyak stok," kisah Andi Colly sambil tertawa.
Dia bukan saja mengenakan label namanya saat bekerja atau ketika bertandang ke instansi pemerintah. Bahkan saat-saat menikmati liburan pun label nama itu tetap dikenakan.
Lantas, kenapa dia melakukannya? Rupanya, dia pernah membaca buku, ada orang yang menato nama dirinya di dadanya. Biar, katanya, kalau ada yang melihat orang itu, langsung dikenali.
Dia pun demikian. Kalau ada yang tidak bisa membaca aksara Lontaraq, katanya, maka tentu orang itu akan bertanya, bagaimana cara membacanya, apa artinya, dan sebagainya.
"Sehingga saya akan menyebutkan bahwa itu nama saya dalam aksara Lontaraq. Jadi, nama ini bisa jadi daya tarik, dan sebagai pembuka obrolan dengan seseorang," ungkapnya.
Saya kemudian menyela bahwa itulah yang terjadi pada saya. Rasa penasaran membuat saya bertanya. Sebab, sebagai orang yang terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Literasi Aksara Lontaraq, Bahasa, dan Sastra Daerah, saya punya tanggung jawab moral untuk membumikan aksara Lontaraq tersebut.
Sejumlah inovasi sekolah yang saya buat untuk beberapa Sekolah Dasar (SD) di Makassar menggunakan istilah lokal (Makassar maupun Bugis). Logonya pun menggunakan aksara Lontaraq. Saya banyak dibantu untuk translate oleh akademisi Unhas, Dr Sumarlin Rengko, dan penyair Makassar, Syahril Rani Patakaki. Sementara desain bernuansa Lontaraq dikerjakan oleh Nasrul, teman saya dalam mengerjakan buku.
Bukan kebetulan bila Andi Colly kini berkutat di perpustakaan. Sejak di SD 48 Latappareng, dia sudah jadi pengunjung setia perpustakaan. Sehingga dia sangat merasakan manfaat kehadiran sebuah perpustakaan.
Pada tahun 2018, momen itupun tiba. Perpusnas RI menggulirkan program perpustakaan berbasis inklusi sosial, yang sampai ke desanya. Dia ditawarkan oleh Pak Desa, apakah tertarik untuk mengembangkan perpustakaan desa?
Singkat cerita, Kepala Desa TellulimpoE, Darwis, SIP, langsung memintanya membuat Peraturan Desa (Perdes). Dia kebetulan Sekretaris Desa. Jadi karena jabatan, dia yang membuat Perdes Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pembentukan Perpustakaan Macakka Desa TellulimpoE.
"Karena saya orang Bugis, maka saya maunya serba Bugis. Apa pun yang saya lakukan di desa, saya berusaha ada unsur Bugis-nya. Jadilah ini Perpustakaan Macakka," lanjut Andi Colly perihal nama perpustakaan desanya.
Dalam bahasa Bugis, jelasnya, "macakka" berarti terang-benderang. Impiannya, Perpustakaan Macakka menjadi suluh penerang di desa, dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari perpustakaan, warga akan tercerahkan. Itu harapannya.
Sebagai pengelola perpustakaan, Andi Colly, terkesan visioner dan punya idealisme. Dia membawa nilai-nilai dan filosofi Bugis di perpustakaan desanya dengan membuka kelas berbahasa Bugis, di samping kelas bahasa Inggris. Dia tambah semangat ketika mendapat motivasi dari Andi Kaswadi Razak (Bupati Soppeng, periode 2016-2021 dan 2021-2024).
Metode kelas berbahasa Bugis itu terbilang sederhana, yakni melalui syair lagu dan pepatah-pepatah Bugis. Katanya, biar anak-anak sedari kecil paham pesan-pesan leluhurnya agar kelak jadi hikmah dan pedoman yang mereka pegang hingga dewasa.
Andi Colly menambahkan, banyak kegiatan di perpustakaan desanya, selain kelas bahasa, ada pula kelas story telling, kelas kreasi, dan kegiatan mengaji setiap hari.
"Kami bekerja sama dengan Karang Taruna, majelis taklim, PKK, Posyandu, dan semua potensi yang ada di desa. Kami memakai pendekatan multistakholder dengan memanfaatkan jejaring yang ada di desa. Kami mengimplementasikan tansformasi perpustakaan berbasis inklusi social. Itu merupakan program utamanya. Jadi orang dari berbagai kalangan bisa menggunakan perpustakaan untuk kegiatan apa saja, tak melulu soal buku," bebernya penuh semangat.
Andi Colly mengaku beruntung mendapat program transformasi perpustakaan berbasis inklusi social. Apalagi dibarengi dengan fasilitas yang mendukung program-programnya. Selain komputer, perpustakaannya juga mendapat bantuan titik baca yang isinya berupa buku-buku digital.
"Kami diberi bantuan, mungkin karena kami aktif bergerak. Secara sederhana Perpusnas RI mau bilang, ini programnya, ini alatnya, silakan dikembangkan," tambahnya.
Betul-betul perpustakaan desa kami dimanfaatkan dengan baik. Karena terbuka dan selalu memberi ruang, agar bisa bersinergi dan berkolaborasi. Sesuai apa yang bisa diberikan perpustakaan bagi peningkatan kualitas masyarakat dan kemajuan masyarakat desa.
Di Festival Literasi Sulawesi Selatan 2025 ini, Perpustakaan Macakka ditetapkan sebagai Juara II, Lomba Perpustakaan Umum Terbaik (Desa/Kelurahan) Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelumnya, pada lomba di tingkat Kabupaten Soppeng, perpustakaan ini keluar sebagai pemenang pertama.
Lebih membanggakan lagi, Perpustakaan Macakka, punya prestasi nasional. Sejak 2019-2022, perpustakaan itu selalu masuk sebagai perpustakaan desa terbaik implementasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Di tahun 2023, lanjut Andi Colly, perpustakaan desanya menang Kategori Inovasi Layanan Perpustakaan karena kami aktif di media sosial. Perpustakaannya punya delapan akun medsos, yakni Facebook (FB), Fanpage FB, Instagram, TikTok, YouTube, X (Twitter), Threads, dan Snackvideo.
"Program saya, harus ada postingan setiap hari. Saya bagi tim, termasuk untuk publikasi, supaya orang tahu apa yang dikerjakan oleh Perpustakaan Macakka," imbuhnya.
Pada tahun 2024, kata Andi Colly, perpustakaannya malah menang di dua kategori, masing-masing Kategori Layanan Perpustakaan Terbaik dan Kategori Advokasi dan Kemitraan Terbaik. Untuk kategori Advokasi dan Kemitraan, itu karena mereka tidak pernah berhenti mengembangkan kerja sama dengan berbagai lembaga yang ada di desa.
Dia menyadari, perpustakaan memang tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus bermitra, bekerja sama dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan yang lain.
"Saya punya mimpi, menggelar even besar, semacam Festival Literasi Desa. Karena selama ini, kegiatan kami masih dalam skala kecil dan sederhana," harap Andi Colly menutup obrolan di Gedung Layanan Perpustakaan Umum Provinsi, siang itu. (*)
.png)

.png)