Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Dalam suatu kesempatan ngobrol dengan teman, saya katakan, "Sering kita mengabaikan ide seseorang, setelah kegiatannya jadi atau setelah ide itu mewujud dan berkembang. Kita lupakan ada orang yang pernah melontarkan ide itu atau menjadi bagian awal dari ide itu."
Maklum saja, ide itu "hanya" semacam gagasan dasar yang belum konkret. Memang, kebanyakan ide belum terbentuk sebagai produk, sebagai sesuatu yang bersifat fisik. Ide masih abstrak. Bahkan terkadang baru berupa imajinasi dari orang yang punya ide tersebut.
Nah, di sinilah rentannya ide. Karena bisa hilang terlupa, bisa dibajak orang, juga bisa dikomodifikasi, dikapitalisasi, dikomersialisasi, dan dimanipulasi orang lain.
Kepada teman itu saya sampaikan, "Kalau Anda penonton film, coba perhatikan credit di awal film tayang. Di situ tertera, nama yang punya ide cerita. Betapa dihargainya ide itu, sehingga diletakkan sebagai informasi pembuka. Bahwa ada lho yang punya ide cerita, di luar si penulis cerita film."
Ide, kata Plato, tidak terikat oleh waktu dan tempat. Maka, menurut filsuf Yunani Kuno yang hidup antara 427 SM hingga 347 SM itu, ide bukanlah sebuah makhluk. Ide diartikannya sebagai hakikat sesuatu. Karena dengan idelah yang menjadi asal-muasal terjadinya bentuk fisik.
Rene Descartes mengungkapkan gagasannya bahwa sesungguhnya pada diri manusia memiliki seperangkat ide. Esensi atau sifat pikiran, kata filsuf dan matematikawan Prancis ini, adalah berpikir. Maka ide itu merupakan cara berpikir yang mewakili objek untuk pikiran.
Mereka yang tiada henti-hentinya memproduksi ide-ide, sejatinya adalah orang-orang kreatif dan kritis.
Saya sendiri punya bank data yang menampung ide-ide saya. Di laptop, dalam bentuk folder yang bisa dibuka dan dikembangkan. Di smartphone, saya simpan draft ide-ide saya di fitur Notes.
Jauh sebelum era gawai, saya sudah punya buku IDE dengan catatan dan coretan-coretan dalam bentuk mind maps. Di buku itu terdapat rencana-rencana program, kerangka tulisan, juga peta pikiran kalau saya mau membahas satu isu untuk presentasi atau wawancara.
Buku IDE ini adalah arsip yang mendokumentasikan pemikiran-pemikiran saya.
Saya adalah orang yang suka bertukar dan berbagi ide. Mengapa? Karena dengan melontarkan ide-ide itu berarti ia berproses untuk dimatangkan. Ia diasah melalui pernyataan yang argumentatif untuk meyakinkan orang atau lawan bicara.
Saya, boleh dikata, termasuk proaktif mempromosikan ide-ide, kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Ide-ide itu ada yang punya harga, diberi harga, dan dihargai. Biasanya, saya jual putus saja. Kontan.
Ada juga yang dipakai oleh seseorang, tetapi nama saya tidak disertakan atau tidak disebutkan. Bagi saya, tak soal. Hitung-hitung sedekah ide. Dari ide, berbuah amal kebaikan bagi orang, meski bukan saya eksekutornya.
Namun, banyak di antaranya yang tetap menghargai ide-ide itu, baik dalam bentuk apresiasi, difasilitasi, atau dibanderol nominal tertentu.
Saya kasi contoh. Di tahun 2016, saya menyampaikan punya keinginan menyematkan nama saya sebagai brand program siaran radio. Gayung bersambut.
Ketika Bu Arwinny Puspita hendak mengikuti Diklatpim III di Jakarta, Kepala Program Siaran RRI Makassar itu, membawa ide saya "Beranda Pak RT" sebagai proyek perubahan.
Setelah itu, saya pun bersiaran di RRI Pro1 Makassar sebagai host "Beranda Pak RT". Acara yang dikerjasamakan dengan Pemkot Makassar ini menghadirkan tamu-tamu yang beragam, mulai dari Ketua RT dan Ketua RW, pelaku UMKM, Lurah, hingga Camat.
Sejumlah kepala dinas dan Sekda Kota Makassar, saat ini, pernah jadi tamu saya di "Beranda Pak RT" RRI Pro1 Makassar. Acara ini berhenti tayang, ketika diberlakukan pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 di tahun 2020.
Cerita lainnya. Saya dan perupa AH Rimba ngobrol di rumahnya. Berdua. Saya kemukakan ide "Ngopi Itu Hak Asasi". Ide itu kami bawa ke Ifan, owner Etika Studio. Jadilah pertunjukan: puisi, musik, dan testimoni isu HAM.
Demi menghargai si empunya ide, Rimba menuliskan nama saya pada kaos yang dicetak sebagai produk merchandise acara. Itu di tahun 2019.
Sekarang ini, ketika diadakan lomba inovasi, saya pun bermain di belakang layar. Sederet program inovasi sekolah yang mengikuti ajang IMA (Innovative Major Award), yang diadakan Balitbangda/Brida Kota Makassar, maupun IGA (Innovative Government Award) oleh Kemendagri, ada nama saya di sana.
Saya beruntung dikaruniai kemampuan meracik kata-kata menjadi akronim yang muncul sebagai produk inovasi. Prosesnya sederhana. Mau mendengar, menyimak, menganalisis. Lalu mengimajinasikan dalam program. Seolah saya punya polanya.
Seorang kepala sekolah di Kecamatan Rappocini, misalnya, ingin agar dibuatkan inovasi terkait pendidikan karakter. Saya mendengar semua yang disampaikan. Masalahnya, pun harapannya.
Saya kemudian membuat coretan. Sebelum saya tinggalkan sekolahnya, ide inovasinya jadi, dan langsung dibuatkan publikasinya. Hari itu juga.
Kepala sekolah lain di Kecamatan Tallo, suatu malam menelepon. Bicara tentang kegiatan sekolahnya, dan mengajak saya bermitra. Saya sampaikan ke kepala sekolah bersangkutan, silakan bercerita, sambil saya mencatat apa yang dikemukakan.
Tak berselang lama setelah kami berkomunikasi, ide inovasinya saya buatkan. Juga sudah dipublikasi, supaya ada jejak digitalnya.
Begitupun dengan salah seorang kepala sekolah di Kecamatan Manggala, yang ingin membuat inovasi sederhana. Lagi-lagi saya pasang kuping untuk mendengar cerita tentang kegiatan-kegiatan sekolahnya.
Secara on the spot, masih bersama kepala sekolah itu, saya sodorkan beberapa ide inovasi. Begitu salah satunya diterima, langsung dikunci dalam bentuk berita. Saya pun memainkan peran ganda, sebagai konseptor sekaligus pewarta warga.
Ide-ide program inovasi saya terserak. Silakan di-searching atau di-googling. Ada banyak ide saya yang menyatu dalam berita-berita program inovasi sekolah atau kegiatan pertunjukan.
Tak soal untuk saya kalau ada orang yang mengeklaim ide yang awalnya dari saya lantas mendaku ide itu sebagai miliknya. Sekalipun sudah didaftarkan hak ciptanya atas nama orang itu, sesungguhnya hukum masih memberi ruang untuk didebat dan dibuktikan sebaliknya.
Ketahuilah, ide itu merupakan hak atas kekayaan intelektual, yang bisa dikonversi jadi hak cipta, paten, merek, atau desain kreatif.
Sayangnya, tidak semua orang respek pada lontaran ide-ide yang mungkin hanya dikira sekadar "omon-omon". Lebih parah lagi, bila ide itu dikaveling, tak ubahnya penyerobotan atas aset orang.
"Sungguh terlalu", meminjam istilah Bang Rhoma Irama hehehe. (*)