• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Bangun Wacana Publik dari Koran Hingga Televisi

    Redaksi Tebarnews
    04/09/2025, 8:02 PM WIB Last Updated 2025-09-04T12:02:05Z

     

    Penulis, dalam salah satu wawancara dengan TVRI Sulawesi Selatan


    Oleh: Rusdin Tompo 

    (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)


    "Kita itu ibarat batu kerikil, yang dibutuhkan, lalu dijadikan buah dam. Itu pun batu kerikilnya tanpa bentuk. Namun, batu itu bisa mewarnai permainan."


    Kalimat perumpamaan ini dilontarkan AB Iwan Azis, dalam obrolan kami di Warkop Azzahrah, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar, Rabu, 3 September 2025. Hari itu, selain saya dan Iwan Azis, juga ada Mustam Arif, mantan wartawan Pedoman Rakyat, bersama kami ngopi.


    "Kita", yang dimaksud oleh lelaki 79 tahun itu, adalah saya. Dalam komunikasi ala orang Makassar, "kita" merupakan sebutan kata ganti orang kedua tunggal. 


    Menurut Iwan Azis, beliau sudah lama mau mengajukan pertanyaan, "Siapa dan dari mana Rusdin Tompo ini, sehingga dia bisa menjadi seseorang?" Katanya, kalau selama ini, saya sering mewawancarai beliau maka kali ini beliau mau mewawancarai saya hehehe.


    Saya menanggapinya dengan senyum. Begitupun dengan Mustam Arif, yang terkesan hanya menyimak, tanpa ikut berkomentar. 


    Iwan Azis mengaku, beliau mengetahui saya dari pemberitan dan tulisan-tulisan saya di surat kabar. Ketua organisasi pengusaha reklame ASPRI yang pernah jadi wartawan itu, juga kerap melihat saya bila diundang sebagai narasumber TV.


    Saya sampaikan, saya memang bukan siapa-siapa dan bukan anak siapa-siapa. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Makassar, di tahun 1987, saya bahkan tidak mengenal kota ini. 


    Meski Makassar kampung halaman bapak dan ibu saya. Bapak-Ibu saya asli Rappocini. Namun, saya lahir dan besar di Ambon. Ketika akan kuliah baru ke Makassar.


    Kalau soal media, kata saya, ada era ketika saya sangat proaktif membangun wacana publik terkait hak-hak dan perlindungan anak. Itu saat saya punya LSM sendiri. Saya mengistilahkan upaya ini sebagai diversifikasi isu anak. 


    Tekad saya sederhana. Saya hanya mau tunjukkan bahwa dalam setiap persoalan, ada isu anak di dalamnya. Anak-anak rentan menjadi korban. 


    Saya contohkan. Misalnya, dalam kerusuhan massa di sejumlah kota, pada akhir Agustus 2025 lalu, ada persoalan perlindungan anak yang butuh perhatian.


    Kepada Iwan Azis dan Mustam Arif, saya sampaikan bahwa sejak mencoba mandiri di tahun 2002, saya sudah membuat goal: kalau orang bicara isu anak, Rusdin Tompo di kepalanya!


    Fase mandiri ini ditandai oleh 2 hal, yakni saya mendirikan Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN), dan pindah dari rumah orangtua di Jalan Letjen Hertasning No 45B (Hertasning Timur), ke rumah kontrakan di BTN Tirta Mas D2, Jalan Daeng Tata I.


    Di rumah yang kami sewa ini, ada fasilitas telepon rumah. Sehingga membantu saya diwawancarai via telepon. Biasanya, radio akan menghubungi beberapa saat sebelum live. 


    Sebagai narasumber, saya akan diberitahukan topiknya. Nanti dihubungi lagi menjelang wawancara dilakukan. Paling sering mewawancarai saya via telepon adalah Radio Mercurius FM, SPFM, Smart FM, dan RRI Makassar.


    Saya bilang ke Pak Iwan dan Pak Mustam, saya beruntung punya jejaring media yang saya rawat sejak lama. Dahulu, ada dua reporter RRI Makassar, yakni Abdul Azis dan Yahya Patta, yang kerap mewawancarai saya, bila ada persoalan menyangkut kasus-kasus anak.


    Keduanya merupakan teman yang biasa mengajak saya meliput, ketika saya masih bekerja di Radio Bharata FM sebagai reporter. 


    Pada awal menjadi narasumber, semua topik dan waktu wawancara, dicatat dalam sebuah buku. Buku ini juga banyak menyimpan catatan wawancara saya saat masih sebagai reporter radio.


    Ilmu rutin dan disiplin mencatat ini saya dapat, ketika menghadiri sosialisasi ISO, di masa masih sebagai reporter radio. Ada satu kalimat yang terekam saat itu. "Catat apa yang Anda kerjakan. Kerjakan apa yang Anda Catat." Inti pesan kalimat ini adalah konsistensi.


    ISO atau International Organization for Standardization merupakan sebuah organisasi yang didirikan di Jenewa, Swiss, tahun 1947. Organisasi ini mengembangkan standar untuk berbagai industri yang mempromosikan kualitas, keamanan, dan efiensi.


    Sayangnya, catatan berisi berbagai topik wawancara, lengkap dengan hari, tanggal, dan waktu siarnya itu raib. Kayaknya ketinggalan di kendaraan, saat saya naik angkutan umum. 


    Dalam catatan-catatan itu, juga ada coretan ide-ide tulisan, baik untuk keperluan artikel koran maupun makalah seminar. 


    Saya memang suka membuat peta pikiran, meniru mind maps dari Tony Buzan, pengarang Inggris, yang terkenal sebagai pemikir, komunikator, dan tokoh terkemuka di bidang brain.


    Dahulu, sebagai narasumber, saya terbiasa membuat makalah, di samping membuat versi bahasan untuk ditampilkan melalui OHP (Overhead Projector). 


    OHP ini alat bantu presentasi visual yang memproyeksikan tulisan atau gambar dari lembaran plastik transparan. Saya menyukai ini. Karena dengan begitu, saya bisa menampilkan keahlian meletter dengan tulisan bervariasi.


    Nah, untuk bisa merebut wacana di media cetak, maka saya akan menghubungi wartawan dari media cetak tersebut, setiap kali ada kasus anak yang tengah mengemuka. Saya akan memberi sudut pandang berbeda terhadap kasus aktual itu. 


    Tentu saja dengan pisau analisis perspektif anak. Dan sebagai mantan jurnalis, saya paham memainkan kata, kalimat, dan data yang punya nilai berita (news value).


    Respons yang lebih analitis-argumentatif-solutif, saya lakukan melalui penulisan artikel. Semangat diversifikasi isu anak membuat saya merespons banyak persoalan hak dan perlindungan anak melalui tulisan. 


    Saya terus membangun personal branding dengan fokus menulis dan berbicara hanya melulu isu anak. Sampai kemudian saya diundang sebagai narasumber dalam program acara "Indonesia Siesta" di jaringan Radio Delta FM. Pewawancaranya, artis Shahnaz Haque. 


    Radio Delta FM, kala itu, masih bersiaran dari lantai 10 Hotel Sahid Jaya Makassar. Jadi, saya di studio radio tersebut, sementara Shahnaz Haque bersiaran nun jauh di Jakarta. Dari program "Indonesia Siesta" ini saya berkenalan dengan bos Koko Motor, yang menanggapi topik bahasan dalam siaran kami dari Bandung. 


    Beliau, saat itu, bilang kalau punya show room dan bengkel motor di Makassar. Begitu ke Makassar, kami pun bertemu dan ngobrol banyak hal soal kegiatan sosial dan pemberdayaan.


    Suatu hari di tahun 2004, saya dihubungi wartawan harian Fajar, A. Anita Amir, untuk wawancara khusus tentang anak jalanan dan pekerja anak. 


    Saat itu, saya dan LISAN sudah pindah alamat ke Jalan Emmy Saelan Lorong 2. LISAN merupakan LSM yang jadi bagian dari JARAK (Jaringan Advokasi Pekerja Anak).


    Kami bertemu di Kopitiam Mal Panakkukang (MP). Anita menyampaikan bahwa tadinya, Ibu Tria Amelia, psikolog, yang mau diwawancarai. Namun Bu Tria (anak Prof Ahmad Amiruddin, mantan Gubernur Sulawesi Selatan) merekomendasikan saya. 


    Itu karena Bu Tria pernah ke rumah saya di Tirta Mas, berdiskusi seputar isu anak dengan saya. Saat itu saya menyampaikan tengah menyelesaikan buku anak jalanan dan buku pengalaman advokasi akta kelahiran. 


    Hasil wawancara dengan Anita, muncul di rubrik "Bincang", satu halaman penuh. Wawancara dan sosok saya ditampilkan satu halaman penuh lagi di rubrik "Bincang", saat saya sudah jadi komisioner KPID Sulawesi Selatan, dan sudah pindah ke Jalan Letjen Hertasning Blok E10 No 4D (Minggu, 27 Juli 2007).


    Pada kesempatan lain, saya bersama keluarga ditampilkan sehalaman penuh pada rubrik "Weekend", 8 Mei 2010. Pemotretan untuk rubrik ini dilakukan di Gramedia Mal Ratu Indah karena kami biasa menghabiskan akhir pekan ke toko buku.


    Kemudian wawancara lengkap saya seputar advokasi anak kembali dimuat sehalaman penuh dalam rubrik "Persona" harian Fajar (21 November 2010). Belum lagi media-media cetak lainnya, yang juga sehalaman penuh.


    Saya lanjut bercerita. Ketika Makassar TV mengudara pertama kali, pada tanggal 23 November 2003, saya sudah bertekad, suatu ketika harus masuk TV. 


    Kesempatan itu akhirnya tiba. Lagi-lagi isu anak jalanan dan pekerja anak jadi topik bahasan.


    Saya diundang oleh Canny Watae--salah satu pewawancara kritis--untuk hadir di studio Makassar TV yang kala itu masih di Hotel Sahid Jaya. Saya tampil bersama Muh Yusuf Tuang Baso, Kadis Sosial Kota Makassar.


    Saya ingat, beberapa kali Tuang Baso menyebut bahwa saya lebih tahu atau beliau belajar dari saya. Saya memaknai kalimat itu sebagai ungkapan rendah hati dari seorang pejabat publik. Namun, Canny Watae menyambar kalimat itu dengan mengatakan, "Bagaimana kalau Pak Rusdin jadi kepala dinas?" Candaan ini membuat kami tertawa bersama.


    Setelah beberapa hari siaran live di stasiun televisi swasta pertama di Sulawesi Selatan itu, rupanya masih diputar rerun-nya. 


    Saya yang tengah menonton siaran Makassar TV dengan Galang dan Gandhi--dua anak saya yang kala itu masih kecil--seketika mendengar celetukan, "Eh kenapa bapak dua?" Sambil keduanya terheran-heran melihat saya di layar TV dan di hadapan mereka hehehe. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini