• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Tantangan di Balik Usaha Reklame, dan Jalan AP Pettarani Makassar

    Redaksi Tebarnews
    07/08/2025, 9:14 AM WIB Last Updated 2025-08-07T01:25:36Z

     

    AB Iwan Azis, dalam suatu kesempatan bersama Walikota Makassar, Munafri Arifuddin. (Dok. Tebarnews.com/ist)


    Oleh: Rusdin Tompo 

    (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)

     

    Kalau kita bicara reklame di Makassar, ada dua jalan yang lekat dengan lokasi pembuatannya, yakni Jalan Sungai Pareman di Kelurahan Lariangbangi, Kecamatan Makassar, dan Jalan Sungai Saddang Baru di Kelurahan Ballaparang, Kecamatan Rappocini. 


    Meski ada pula pembuatan reklame di jalan-jalan lain, namun sentra pembuatan reklame berada di kedua jalan itu. Khusus di Jalan Sungai Saddang Baru, menjadi pusat pembuatan reklame dan digital printing dalam skala besar.

     

    “Sebelum era digital printing, pembuatan reklame dahulu masih manual. Masih menggunakan spoit dico. Jadi kita menggunakan seniman lukis. Sekarang yang bekerja serba komputer, dilakukan oleh desain grafis,” jelas AB Iwan Azis, soal perkembangan usaha reklame di Makassar. 

     

    Iwan Azis merupakan Ketua ASPRI (Asosiasi Pengusaha Reklame Indonesia). Beliau banyak mengungkap seluk beluk usaha reklame di Makassar, organisasi yang menaungi para pengusaha reklame, serta kisah di balik titik-titik reklame di Jalan Andi Pangerang Pettarani —biasa disingkat Jln AP Pettarani. 

     

    Katanya, mungkin tidak banyak orang yang tahu, bagaimana peran pengusaha reklame saat pembangunan Jalan AP Petta Rani. Jalan ini merupakan jalan nasional, dengan panjang 4,3 kilometer. Mulai dari Kilometer 4 (Jalan Jenderal Urip Sumoharjo-Tol Reformasi) di utara hingga Jalan Sultan Alauddin di bagian selatan.

     

    Nama jalan ini diambil dari nama Andi Pangerang Petta Rani (14 Mei 1903-12 Agustus 1975), yang punya nama lengkap Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri Panaikang. 


    Andi Pangerang Petta Rani merupakan bangsawan, birokrat, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau merupakan Gubernur Sulawesi ke-5, atau yang terakhir (1956-1960). Setelah itu, Sulawesi terbagi atas beberapa provinsi, dengan masing-masing gubernurnya sendiri.


    Tahun 1980an, Jalan AP Pettarani belum seperti sekarang. Para pengusaha reklame punya andil di jalan yang kini menjadi pusat bisnis, komersial, dan perkantoran tersebut.


    Saat masih dalam proses pengerjaan, cerita Iwan Azis, setiap perusahaan reklame menyumbang hingga 25 truk pasir/tanah untuk menimbun median jalannya. 


    Itulah yang kemudian menjadi kompensasi bagi pengusaha-pengusaha reklame. Sebab, saat itu, kata dia, belum ada aturan yang paten. Bahkan hingga saat ini, peraturan yang ada soal reklame masih tumpang tindih. 


    "Pengusaha, waktu itu, dibolehkan mencari titik lokasi, sementara pemerintah juga butuh proyeknya selesai. Ini semacam tukar guling. Jadi ada sejarahnya," terangnya.

     

    Iwan Azis melanjutkan, kala itu, usaha reklame belum menjadi daya tarik bagi banyak kalangan. Belum dilihat potensi bisnisnya dan memberi dampak bagi kehidupan pelaku usahanya. Sehingga, hanya ada beberapa gelintir orang yang punya usaha reklame.


    Reklame dalam tulisan ini, yakni reklame luar ruang, atau Out-of-Home (OOH) advertising. Ia adalah bentuk periklanan yang berada di ruang publik guna membangun kesadaran merek dan menjangkau audiens yang lebih luas, yang tengah melakukan aktivitas di luar rumah. 


    Media reklame jenis ini macam-macam, juga bisa sangat kreatif dan inovatif. Di antaranya billboard, baliho, megatron, videotron, spanduk, neon box, dan lain sebagainya.


    Kini usaha pembuatan reklame sudah berupa digital printing, yang relatif lebih praktis dan ringkas. Ada efisiensi dalam pengerjaan desainnya. Namun, tetap punya tingkat kesulitan saat bongkar pasang. 


    Pengerjaan reklame yang notabene di luar ruang ini, kerap memakan korban. Pekerjanya berisiko, bisa jatuh dan terkena sengatan listrik. Ini pekerjaan dengan risiko tinggi juga. 


    "Kalau pasang reklamenya tidak hati-hati bisa terkena musibah. Bisa kesetrum, atau jatuh, yang berakibat cedera, bahkan meninggal," ungkap Iwan Azis.


    Beliau mengibaratkan usaha reklame bagai kaleng kurma. Karena sering diangkut dan berpindah-pindah, kalengnya keppo-keppo (penyot) tetapi kurmanya sendiri masih bagus. Cuma orang hanya melihat tampilan kalengnya, yang terkesan rusak, sehingga membuatnya tidak tertarik.

     

    Kondisi usaha reklame ya seperti itu di masa awal. Bisnisnya masih tergantung dari Jakarta, rentang birokrasinya panjang. Maka, kata dia, ada teman-temannya yang muncul sebagai pemain yang terpisah dari Jakarta. 



    "Banyak pintu yang mesti dilewati, dan itu bukan pintu pemerintah, melainkan pintu-pintu yang dibuat sendiri oleh kita. Ya, kata lugasnya itu, banyak broker yang mesti disuapi," tambah lelaki yang pernah aktif sebagai wartawan itu.

     

    Contohnya, papar Iwan Azis, kalau ada yang mau pasang iklan produk tertentu, dia akan ditanya, mau kasi berapa persen, nanti dicarikan titik reklamenya. Ini juga berisiko, sebab seandainya posisi reklamenya mestinya melintang (lanskap), sementara reklame yang dipasang berdiri (vertikal/portrait) maka bisa terkena komplain. 


    Kalau lampu reklamenya mati, dan tidak terlihat pada malam hari, bisa-bisa terkena komplain lagi. Untuk lampu ini, harus juga berurusan dengan PLN. Dahulu, belum ada pekerja yang mahir untuk itu. Sekarang sudah ada yang sisa tangani, yakni anak-anak alumni STM.

     

    Sekarang, kata dia, sudah banyak bermunculan pengusaha reklame. Bahkan ada yang mantan-mantan pejabat. Sehingga terjadi seperti yang bisa dilihat oleh masyarakat di lapangan. 


    Menurut Iwan Azis, usaha reklame ini bisnis jasa. Butuh kepercayaan dan kemampuan komunikasi tertentu. Beda dengan kalau, misalnya, kita jualan mobil, barangnya jelas, dengan merek-merek mobil yang juga sudah paten. 

     

    "Jadi tidak semua itu pekerjaan digampang-gampangkan," kata dia mengingatkan.


    Banyak orang, lanjutnya, yang mau ikut berkecimpung di bisnis reklame. Dia bikin titik, tetapi titik-titiknya ini tidak laku. Mengapa? Karena orang itu tidak tahu bagaimana strategi pemasarannya. Dia tidak punya networking, dan sebagai pemain baru, dia tidak dikenal. 


    Iwan Azis lantas membagi pengalamannya. Katanya, perlu ada komunikasi antara pemasang iklan dengan yang punya titik. 


    Kalau pemasangnya sudah terbiasa dengan orang yang punya titik tertentu, sudah punya ikatan emosional, maka sulit untuk dia berpindah pada pemilik titik reklame lainnya. 


    Orang tersebut tidak akan pergi ke mana-mana. Dia hanya bilang, kontak dengan si A, si B, maka akan jalan sebagaimana biasanya. 

     

    Sekarang ini, penguasaan titik-titik berubah. Ada sistem baru yang dibangun. Sistem ini tergantung orangnya yang pintar bermain, seperti apa. 


    Diakui bahwa tidak bisa dinafikan, ada hal-hal yang dikreasikan dan menjadi diskresi dari penentu kebijakan. 


    Untuk itu, dia menyarankan, pemerintah juga perlu lebih tegas dan dibuatkan aturan yang tidak monopolistik. 


    Iwan Azis kemudian menyodorkan fakta lapangan. Katanya, dia yang membongkar, dia yang memberi izin, dia juga yang mengatur. Bagaimana caranya? Model one stop service ini harus tetap ada check and balance-nya, agar tidak terjadi tindakan semena-mena. 


    "Ibaratnya, pemain dan wasitnya sama, maka terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan," kata dia prihatin.

     

    Dikatakan, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) membuat kebijakan, sementara pemerintah juga membuat PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), yang juga mengatur perizinan. 


    Sementara kalau terjadi dugaan pelanggaran, yang bertindak Bapenda, bukan Satpol PP sebagai petugas penegak Perda. 


    Pemerintah Kota Makassar di bawah Walikota, Munafri Arifuddin, dan Wakil Walikota, Aliyah Mustika Ilham, perlu mengkaji kembali hal ini supaya penataan reklame makin bagus ke depan. (*)

     

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini