![]() |
Penulis, saat berada di kawasan pembuatan kapal Pinisi, Bulukumba, tahun 2022. (Dok. Tebrnews.com/ist) |
Oleh: Rusdin Tompo
Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan
“Komunikasi visual melampaui bahasa.” ~ (Luis Prado)
Ketika Kementerian Pariwisata melakukan promosi pariwisata Indonesia berskala global, travel blogger, lifestyle blogger, fotografer, adventure, dan influencer dari Eropa, Amerika, dan Afrika diundang dalam Trip of Wonders 2016.
Mereka diajak berkolaborasi untuk bertualang ke tempat-tempat eksotis di Tanah Air, seperti Bandung, Yogyakarta, Jawa Tengah, Lombok, dan Raja Ampat (www.cnnindonesia.com).
Di sejumlah lokasi destinasi wisata itu, mereka diajak merasakan denyut kehidupan Indonesia, menikmati kuliner, serta menjajal pusat-pusat perbelanjaan dan suasana tempat nongkrong kaum muda. Juga, tentu saja, menikmati pemandangan alam nan indah, tradisi budaya yang unik, serta berbagai potensi pariwisata yang menggambarkan kekayaan dan keragaman Indonesia yang multi-etnis.
Harapan kampanye besar Wonderful Indonesia ini, yakni dari berbagai tulisan, ulasan, dan liputan berupa teks, foto, dan video itu akan berpengaruh pada follower dan friends mereka di media sosial.
Endorse digital dan familiarization trip (famtrip) ini tentu tidak murah. Famtrip merupakan perjalanan khusus yang ditujukan kepada para profesional dalam industri perjalanan wisata, seperti influencer dan jurnalis. Gunanya untuk memperkenalkan secara langsung tempat-tempat wisata, fasilitas, atau layanan yang ditawarkan, sehingga peserta mendapat pengetahuan yang lebih mendalam.
Wonderful Indonesia, yang diluncurkan pertama kali, tahun 2011, oleh Kementerian Pariwisata ini, memang bertujuan untuk mempromosikan destinasi wisata utama Indonesia ke berbagai belahan dunia.
Kampanye ini menggantikan slogan sebelumnya, Visit Indonesia, untuk menunjukkan keindahan alam, kekayaan budaya, serta keramahan masyarakat Indonesia. Kampanye wisata perlu dilakukan mengingat jumlah destinasi wisata terbilang banyak dan bervariasi.
Berdasarkan data Databoks, tahun 2022, jumlah objek wisata komersial sebanyak 2.930, belum termasuk desa wisata, kawasan wisata, dan objek wisata alami, berupa pantai, gunung, dan sebagainya.
Kampanye dan promosi ini dilakukan lantaran punya banyak target dan manfaat. Bukan saja untuk menggaet turis dari mancanegara tapi juga meningkatkan citra positif Indonesia, mendiversifikasi destinasi wisata agar daerah-daerah baru juga berkembang sektor kepariwisataannya, dan berbagai dampak lainnya.
Dari strategi promosi yang dilakukan itu, tampak bahwa pariwisata yang mampu mendatangkan devisa bagi negara, punya banyak pertalian, tak hanya semata urusan pariwisata an sich.
Pariwisata butuh dukungan kebijakan politik, karena bertalian dengan sektor ekonomi dan infrastruktur, pemberdayaan dan lapangan kerja, sosial, budaya, pendidikan, bahkan isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Saya coba menukilkan magic words terkait promosi pariwisata dalam tulisan ini. Promosi pariwisata adalah kunci untuk membuka pintu ekonomi dan budaya bagi suatu daerah. Namun, promosi yang baik membutuhkan strategi yang efektif, sehingga orang akan tahu betapa unik dan menariknya suatu destinasi.
Dengan promosi yang tepat maka kita dapat mengangkat potensi pariwisata suatu daerah dan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Pariwisata sesungguhnya merupakan industri yang dinamis, dan kemasan promosi yang terus-menerus, sistematis, multi-content, multi-channel, dan multi-platform, adalah kunci untuk tetap relevan di pasar global.
Dalam konteks buku karya Andi Arung Mattugengkeng, berjudul “Merekam Jejak Tradisi Kapal Pinisi” (2025), memang penulis tidak membahas secara spesifik terkait promosi pariwisata. Namun, mengingat kapal Pinisi merupakan ikon dari Kabupaten Bulukumba, dan Sulawesi Selatan pada umumnya, maka sulit dihindari bahwa bahasan dalam buku ini juga punya dampak ikutan terhadap promosi kepariwisataan daerah ini.
Buku yang ditulis oleh alumni Progran Studi Desain Komunikasi Visual (DKV), Fakultas Seni dan Desain (FSD) Universitas Negeri Makassar (UNM), patut diapresiasi karena mengulas Perancangan Video Profil Proses Pembuatan Kapal Pinisi (Desa Tana Beru) untuk Memperkenalkan Budaya Lokal Masyarakat Bulukumba.
Pengetahuan tentang pembuatan kapal Pinisi perlu didokumentasikan secara baik. Sebab, telah diakui oleh badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, UNESCO, sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage), pada 7 Desember 2017.
Pengakuan ini seolah mengukuhkan cerita-cerita nenek moyang kita sebagai pelaut ulung yang tak gentar mengarungi samudra luas. Sebagai negara maritim, kita sangat kaya dengan mitos dan legenda. Termasuk kisah kapal Pinisi yang juga disebutkan dalam epos La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia dengan sekira 300.000 bait atau baris teks, terbagi dalam 12 jilid atau sekira 6.000 halaman.
Dalam legenda itu disebutkan bahwa Sawerigading, yang merupakan putra mahkota Kerajaan Luwu, berangkat ke Cina untuk menemui We Cudai dengan kapal Pinisi yang terbuat dari kayu welengreng (pohon dewata).
Namun, dalam perjalanannya, kapal itu pecah dan terdampar di beberapa tempat, yakni Ara, Lemo-Lemo, dan Tana Beru. Kisah ini sendiri sudah punya daya tarik, yang bisa dikreasikan secara imajinatif sebagai tontonan yang edukatif, tinggal bagaimana kemasan visualnya.
Secara visual, kapal Pinisi dengan dua tiang layar besar di bagian depan dan belakang, serta tujuh layar yang mengembang, akan terlihat gagah ketika berlayar dengan ombak yang memecah di bagian lambungnya. Namun, sebelum itu, kapal Pinisi menjalani serangkaian prosesi yang kental dengan tradisi, filosofi, dan budaya masyarakat setempat.
Upacara dan ritual adat bahkan sudah dilakukan sejak penanaman pohon bitti, yakni pohon kayu yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan kapal. Selain itu, ada pula ritual songkabala (tanda dimulainya pembuatan kapal, untuk meminta restu alam semesta), annyorong lopi (peluncuran kapal), appasili (doa untuk keselamatan berlayar) ammossi (upacara pemberian pusat pada lunas), dan upacara maccera lopi (menyucikan kapal).
Tidak heran bila Bulukumba dijuluki sebagai “Butta Panrita Lopi” atau “Bumi Panrita Lopi”, yang berarti negeri atau tanah para ahli pembuat perahu. Julukan ini tentu saja disematkan atas kepiawaian masyarakat di sana dalam hal pembuatan kapal Pinisi.
Julukan ini selaras dengan motto atau slogan Kabupaten Bulukumba, yakni “Bulukumba Berlayar”. Sebuah slogan yang menunjukkan karakter geografis, sosio-kultural dan spirit yang berakar pada sejarah dan pengakuan terhadap daerah ini sebagai tempat muasal pembuatan kapal Pinisi yang legendaris itu.
Kapal Pinisi telah membuktikan ketangguhannya dalam pelayaran “Pinisi Nusantara” ke Vancouver, Kanada, sejauh 11.000 mil. Pelayaran pada tahun 1986 itu, salah satunya untuk promosi budaya Indonesia. Pelayaran kapal Pinisi “Amanna Gappa” ke Madagaskar, yang dilepas dari Pantai Losari, Makassar, tepat pada 17 Agustus 1991, sebagai pelayaran napak tilas, juga membuktikan betapa Pinisi digdaya di lautan luas.
Video profil tentu menggunakan bahasa gambar yang padat dan efisien. Meminjam ungkapan populer, “one picture is worth a thousand words”, maka lewat ide yang kompleks dapat ditampilkan dalam gambar yang lebih berbicara.
Ungkapan satu gambar bermakna seribu kata ini pertama kali muncul dalam artikel tahun 1911, dengan mengutip surat kabar Tess Flanders yang membahas jurnalisme dan publisitas.
Ungkapan ini juga tepat disematkan pada video profil karya Andi Arung Mattugengkeng, yang dibahas dalam buku ini. Karena bukan hanya membahas soal teknis tapi juga kaya informasi dan sudut pandang dari para pelaku (praktisi) dan budayawan. Video profilnya bercerita, punya muatan pesan nilai, menggambarkan budaya dan filosofi hidup masyarakat Bulukumba.
Lewat video profil pembuatan kapal Pinisi di Desa Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, ini potret warga dengan dinamika aktivitas pembuatan kapal tergambarkan.
Apa yang dilakukan penulis tak sekadar merupakan pembelajaran dan pendokumentasian tradisi pembuatan Pinisi, tapi juga bentuk edukasi, literasi, dan promosi pariwisata daerah.
Sebagai Generasi Z, yang lahir dan tumbuh di era digital (native digital) sangat penting dilibatkan dalam berbagai bentuk strategi promosi pariwisata yang sekaligus sebagai statagei pemajuan kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan merupakan upaya memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan, baik yang tradisional maupun yang kontemporer. Upaya ini dilakukan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Tujuan utamanya, yakni meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia bagi dunia.
Pembuatan video profil tradisi Pinisi ini merupakan cara pelestarian dan pewarisan yang dilakukan oleh anak-anak muda dengan interpretasi dan narasi yang memikat dan estetik.
Kehadiran anak-anak muda sebagai mahasiswa, dan dari kampus ini, menunjukkan ketertarikan dan kepedulian mereka dalam merawat dan mempertahankan tradisi pembuatan kapal Pinisi, sebagai sebuah maha karya. Ini juga menunjukkan sinergitas, kolaborasi, dan peran serta dunia akademik dalam pemajuan dan promosi pariwisata dan kebudayaan Nusantara.
Sinergitas dan kolaborasi sangat diperlukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk kampus dan perguruan tinggi, karena itu semua merupakan investasi.
Dalam pendekatan pentahelix, kampus dan perguruan tinggi (unsur akademisi) merupakan salah satu elemen kunci. Pendekatan pentahelix merupakan konsep kolaborasi yang melibatkan lima elemen utama dalam masyarakat, yakni pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media.
Pendekatan, yang sudah dikuatkan melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 ini, bertujuan untuk mencapai tujuan bersama melalui sinergitas dan pertukaran pengetahuan serta sumber daya antara kelima elemen tersebut. (*)