• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Prof Karta Jayadi, Kopi Haji, dan Perayaan Spiritualitas

    Redaksi Tebarnews
    14/07/2025, 11:34 PM WIB Last Updated 2025-07-14T15:35:59Z

     

    Rektor UNM, Prof Karta Jayadi dan Dr Ram Prapanca, saat tampil di acara Musik dan Puisi "Kopi Haji" di Sekretariat DKSS, Jalan Malengkeri, Makassar, Sabtu, 12 Juli 2025. (Dok. Tebarnews.com/ist)


    Oleh: Rusdin Tompo

    Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan

     

    Saya begitu bersemangat ketika dijapri flyer acara Musik dan Puisi “KOPI HAJI” with Rektor UNM oleh Dr Asia Ramli Prapanca. Undangan dari dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) itu, mengingatkan saya pada kebiasaan orang-orang tempo doeloe yang membawa pulang kopi sebagai oleh-oleh dari Tanah Suci Makkah, setelah menunaikan ibadah haji. 


    Kebiasaan itu, hanya tinggal sejarah. Kini, kebanyakan orang bila pulang menunaikan kewajiban Rukun Islam kelima itu, lebih sering membawa air zam-zam, kurma, sajadah, tasbih, juga cokelat dan kacang-kacangan dalam kemasan yang menarik, sebagai buah tangan.

     

    Dahulu, kopi Arab yang punya rasa dan aroma khas, menjadi simbol dari perjalanan ibadah haji yang, kala itu, masih menggunakan kapal laut. Kopi Arab itu tersedia dalam berbagai pilihan, mulai dari biji kopi hingga kopi bubuk. Bahkan dallah, yakni teko kopi khas Arab juga dijadikan cendera mata. 

     

    Kopi dalam bahasa Arab, disebut qahwah, yang berarti kuat. Kita di Indonesia, menyerap kata kopi dari pengaruh bahasa Belanda, koffie. 


    ***

     

    Ketika berada di Sekretariat Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS), Jalan Malengkeri No 12A Sao Panrita Centre, Sabtu malam, 12 Juli 2025, yang menjadi lokasi kegiatan, saya diarahkan panitia duduk di bagian depan sebelah kiri bersama teman-teman yang sudah lebih dahulu hadir. 


    Bersama saya, ada Ram Prapanca, Andi Mahrus, Andi Wanua Tangke, Andi Ruhban, Anwar Nasyaruddin, Chaeruddin Hakim, dan M Amir Jaya. Tampaknya meja bundar di pojok ini disediakan bagi teman-teman penulis, penyair, dan sastrawan. Walau ada pula teman-teman penulis, penyair, dan sastrawan, duduk di tempat berbeda.

     

    Sebagai tamu, kami langsung disuguhi menu tradisional berupa kacang, jagung, ubi jalar, singkong, dan pisang. Makanan serba rebus itu nipatala di atas nampan besar. Kami juga ditawari, apakah mau minum kopi atau sarabba? 


    Malam itu, kebanyakan dari kami lebih memilih sarabba—minuman berbahan rempah khas Makassar—termasuk saya. 

     

    “KOPI HAJI ini, kalau dalam ungkapan kita yang dari Timur, bisa dibaca ko pi haji,” kata Dr Azis Nojeng, sebagai pembawa acara. 

     

    Nojeng, dosen, seniman dan penyiar radio, yang dikenal kocak ini menambahkan, naik haji itu bukan cuma ukurannya mampu tapi karena mendapat undangn dari Allah SWT. 


    Benar juga, sebab banyak orang yang mampu secara finansial, fasilitas, fisik, dan psikis tapi belum mendapat “undangan” itu

     

    Ram Prapanca sebagai inisiator acara, kemudian bercerita pengalamannya ketika menunaikan ibadah haji di tahun ini. 


    Katanya, selama di Tanah Suci, dia berupaya bisa bertemu dengan Pak Rektor, ternyata tidak bisa, karena beberapa kendala. Dia lalu menjelaskan musik dan kopi yang jadi nama acara ini. Musik, diibaratkan sebagai zikir, sedangkan puisi merupakan lafaz doanya. 


    Tema ini dapat dimaknai sebagai undangan Ilahi, dalam harmoni puisi dan musik, serupa zikir, yang dibawakan secara khidmat.

     

    Gelaran acara ini, terasa istimewa karena dirangkaikan dengan perayaan milad ke-60, Prof Karta Jayadi, yang kelahiran Camba, Maros, 8 Juli 1965. Posisinya sebagai Rektor UNM ke-11, diraih dengan tidak mudah, melalui Pemilihan Rektor yang penuh dinamika. 


    Sebelum mendapat amanah sebagai Rektor UNM, periode 2024-2028, Prof Karta Jayadi, pernah menjadi Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, Dekan Fakultas Seni dan Desain, serta pernah pula sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa.

     

    Saat memotong nasi tumpeng, yang merupakan surprise dari H Nasran Mone—mantan anggota DPRD Kota Makassar, tiga periode dan pernah pula jadi Ketua Sanggar Teater Merah Putih—Prof Karta Jayadi, ditemani sejumlah tokoh, seniman, budayawan, dan akademisi.


    Selain Nasran Mone, juga ada Moch Hasymi Ibrahim, Is Hakim, Yudhistira Sukatanya, Syamsul Bachri Sirajuddin (Daeng Ancu), Dr Arifin Manggau (Daeng Iping), Wakil Rektor 3 UNM, yang juga merupakan Ketua DKSS, serta Dr Andi Ihsan, Dekan Fakultas Seni dan Desain (FSD) UNM. Beliau mendapat ucapan selamat ulang tahun dari para sahabatnya itu. 

     

    Sesuai nama acaranya Musik dan Puisi “KOPI HAJI”, malam itu kami disuguhkan lagu-lagu beraneka genre, di antaranya lagu pop daerah Makassar, lagu nostalgia, juga lagu barat, yang dibawakan oleh Balla DKSS Band, Aksara Band, kelompok musik DE Art Studio, dan kelompok musik Ardi JK dan Uqbal. 

     

    Parade pembacaan puisi yang sarat pesan nilai, dibawakan secara apik oleh sejumlah penyair, yang membacakan karya-karyanya sendiri. 


    Mahrus Andis, Chaeruddin Hakim, M Amir Jaya, Moch Hasymi Ibrahim, Bahar Merdu, dan Yudhistira Sukatanya, masing-masing tampil dengan gayanya. 


    Puisi-puisi mereka mengandung perenungan seputar hakikat diri, hubungan dengan Tuhan Sang Maha Pencipta, bagaimana memaknai usia, dan juga mengingatkan kematian.

     

    “Seorang seniman itu mesti bisa merespons sesuatu secara spontan dan kreatif,” begitu kata Prof Karta Jayadi ketika berada di panggung.

     

    Beliau mengaku mengoreksi catatan yang sudah dipersiapkan untuk menjawab puisi-puisi yang tadi dibacakan. Beliau bersyukur mendapat karunia, berupa naik haji melalui jalur undangan dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. 


    Di Indonesia, ada 40 tokoh yang mendapat kehormatan menunaikan ibadah haji tahun 2025, atas undangan langsung dari Khadimul Haramain Asy-Syarifain, gelar resmi Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, melalui surat yang ditandatangani Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Faisal Abdullah H Amodi. 


    Di antara 40 tokoh itu, dari Sulawesi Selatan hanya 3 orang, yakni Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, Prof Hamdan Juhannis, dan Rektor UNM, Prof Karta Jayadi. Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Prof Bambang Pramujati, juga ada dalam list undangan istimewa itu, dari dari kalangan akademisi.


    Prof Karta Jayadi bercerita, ketika tengah melempar jumrah di Jamarat, Mina, beliau sempat memberikan batu-batu kecil yang dipunya kepada seseorang. 


    Dalam perjalanan kembali, ada seseorang yang tidak dikenal memberikan payungnya, karena melihat beliau kepanasan.

     

    “Selalu berbuat baiklah karena Allah SWT akan mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya dalam keadaan yang tidak disangka-sangka,” imbuhnya.

     

    Dalam istilah beliau “bakti unlimited”, berbuat baik selama ada kesempatan dan dalam bentuk apa saja. Tanpa mempertimbangkan take and give.


    Unlimited bisa dimaknai sebagai sebuah metafora, konsep yang melampaui batas-batas potensi manusia. Bahwa ada sumber potensi kebajikan yang perlu diejawantahkan dalam berbagai wujud karya dan kemanusiaan. 


    Dengan memberi, tidak berarti seseorang menegaskan pengakuan atas eksistensi dirinya, tetapi menunjukkan bahwa dia bagian dari diri mereka. Apalagi jika itu didasarkan niat yang tulus karena Allah Ta’ala. 

     

    Konsep ini secara positif dapat menjadi motivasi bagi kita untuk berbuat baik tanpa batas, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. 


    Juga berarti memiliki kepedulian, siri na pacce tanpa batas, dan berkontribusi dengan apa yang dapat kita berikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara. 


    Keteladanan itu sudah beliau tunjukkan dengan mendedikasikan hidupnya bagi kemajuan dunia pendidikan, kesenian, dan kebudayaan.

     

    Sehingga momen Musik dan Puisi “KOPI HAJI” ini, bagi saya, merupakan perayaan spiritualitas yang bukan hanya berkesan bagi pribadi Prof Karta Jayadi ketika menjalani peristiwa naik haji. 


    Namun, juga memberi pesan bagi kami yang hadir, baik secara tersurat yang disampaikan lewat kisah, lagu, dan puisi, maupun secara tersirat lewat pemaknaan masing-masing.

     

    ***

     

    Kepada siapa saja, saya sering katakan bahwa setiap pertunjukan pasti ada “bintangnya”, ada “gongnya”. Malam itu, bintangnya tak lain adalah Prof Karta Jayadi. 


    Dua lagu Ebiet G Ade yang dinyanyikan, dan ditingkahi puisi oleh Ram Prapanca, menegaskan dirinya sebagai seniman, dan tentu penyanyi. 


    Bukti bahwa beliau penyanyi bisa dilihat pada kanal YouTube Karta Jayadi Official yang punya 1,87 ribu subscriber. Di platform konten berbagi video itu, kita bisa menikmati suara merdunya yang diiringi Langgam Samboritta.

     

    Lagu pertama yang dinyanyikan, yakni “Masih Ada Waktu”, dirilis tahun 1988 dalam album ke-11, Sketsa Rembulan Emas (Musica Studio). Begini sebagian petikan liriknya:

     

    Kita mesti bersyukur 

    bahwa kita masih diberi waktu

    Entah sampai kapan 

    tak ada yang bakal dapat menghitung

     

    Hanya atas kasih-Nya 

    Hanya atas kehendak-Nya 

    kita masih bertemu matahari

     

    Kepada rumpun ilalang 

    kepada bintang gemintang

    Kita dapat mencoba meminjam catatan-Nya

     

    Sampai kapankah gerangan Waktu yang masih tersisa

    Semuanya menggeleng, semuanya terdiam 

    semuanya menjawab tak mengerti

    Yang terbaik hanyalah segera bersujud 

    mumpung kita masih diberi waktu 

     

    Dilanjutkan dengan lagu kedua, berjudul “Aku Ingin Pulang”, dirilis tahun 1996, dari album “Aku Ingin Pulang” (Musica Studio). Begini sebagian liriknya:

     

    Masih mungkinkah pintumu kubuka

    Dengan kunci yang pernah kupatahkan

    Lihatlah aku terkapar dan luka

    Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa

     

    Aku ingin pulang

    Aku harus pulang

    Aku ingin pulang

    Aku harus pulang

    Aku harus pulang

     

    Lagu “Aku Ingin Pulang” dari Ebit G Ade itu mengingatkan saya pada buku karya Prof Komaruddin Hidayat, berjudul “Jalan Pulang: Seni Mengelola Takdir” (2024).


    Buku autobiografi dari cendekiawan muslim ini mengajak pembacanya memaknai hidup dan takdir dengan cara bijaksana. Selain itu, juga mengingatkan akan pentingnya amal jariyah sebagai bekal di akhirat, dan menyikapi kematian dengan tenang melalui amal saleh. 

     

    “Hidup adalah perjalanan panjang dari perut Bunda menuju perut bumi,” tulis Komaruddin Hidayat. (*) 

     

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini