Oleh: Nasrah Waty, S.Pd
Kepala SMP Negeri Pakkabba, Galesong Utara, Kabupaten Takalar
"Seorang guru bukan sekadar pengajar, ia adalah penuntun jiwa, peneduh batin, dan penggerak harapan dalam sunyi yang kerap tak terdengar."
Sebagai guru, sebagai pengajar dan pendidik, perlu melakukan refresh emosi. Dalam kehidupan seorang pendidik, sering kali kita terjebak dalam rutinitas tanpa menyadari bahwa di dalam diri telah menumpuk residu emosional, bekas-bekas persoalan pribadi yang belum terselesaikan.
Seperti gawai yang penuh sampah digital, diri kita pun bisa “hang” jika tak membersihkan beban emosional tersebut secara berkala. Kondisi ini, bila dibiarkan, dapat memengaruhi cara kita hadir di hadapan murid yang tidak utuh, tidak sadar sepenuhnya, dan kehilangan makna sejati dari proses belajar-mengajar.
Kesadaran akan pentingnya kebersihan batin dan kejernihan emosi inilah yang melatarbelakangi terselenggaranya Workshop dengan tema “Menyambut Tahun Ajaran Baru Dengan Semangat Inovasi dan Profesionalisme Guru di Era Digital” Kegiatan ini juga sebagai moment penting untuk Penyusunan Visi dan Komitmen Pribadi bagi para guru SMP Negeri Pakkabba.
Workshop ini dilaksanakan pada Jumat, 11 Juli 2025, di Balla Juku, Sampulungang Cakdi, sebuah lokasi terbuka yang dipilih dengan sengaja agar peserta dapat meresapi suasana alam, debur ombak, dan semilir angin laut yang menyegarkan batin.
Saya menganggap workshop ini unik dan sangat relate dengan kondisi di sekolah kami, Sehingga saya mengajak pemateri yang punya kapasitas untuk itu.
Narasumbernya, yakni pertama, Ernawati, S,Pd, membawakan materi refresh emosi, masa depan pendidikan dimulai hari ini, dan menyusun visi dan komitmen pribadi; kedua, Dr Rawiah, S.Pd, M.Pd, yang membawakan materi etos kerja edukator tangguh, growth mindset dan manajemen kelas.
Workshop ini bertujuan untuk membekali guru dengan kesadaran emosional dan mentalitas baru dalam membangun kesadaran penuh (mindfulness), menyusun visi pribadi yang otentik, dan menguatkan etos kerja sebagai pendidik yang tangguh dan transformatif.dalam menyongsong Tahun Ajaran Baru 2025–2026.
Pendekatan yang Menyentuh Emosi dan Membangun Kesadaran
Sesi pertama pada workshop ini adalah brainstorming, peserta dibuat rileks terlebih dahulu, dengan saling berbagi pengalaman. Biasanya, kalau di organisasi, ada istilah bahwa Kondisi relaksasi mempermudah seseorang untuk menerima dan menginternalisasi informasi atau ide-ide baru secara lebih efektif. Bila sudah rileks, mereka lebih siap menerima materi yang akan dibawakan.
Dalam bagian ini, mereka saling berbagi, bagaimana guru bersikap yang dikaitkan dengan konteks sekolah.
Sesi berikutnya, refresh emosi, digambarkan bahwa ada tingkatan-tingkatan atau level-level energi dan emosi, yang secara garis besar terbagi atas FORCE (memaksa) dan POWER (kekuatan).
Sesi ini sangat menarik karena mengenalkan teori dari David R. Hawkins tersebut, seorang psikiater asal Amerika Serikat. Teori ini menjelaskan bahwa setiap individu berada pada spektrum emosional antara force (dorongan luar) dan power (kekuatan dari dalam).
Seorang guru idealnya berada pada level “pencerahan” yang ditandai oleh kejernihan niat, kedamaian batin, dan kesadaran spiritual. Idealnya, seorang guru minimal berada pada level penerimaan sebuah titik di mana ia tidak lagi terjebak dalam penolakan terhadap kenyataan, namun mulai menerima peran, kondisi, dan murid-muridnya dengan hati yang lapang.
Dari sana, guru terus bertumbuh menuju zona power, seperti cinta, syukur, dan pencerahan. Ketika telah mencapai pencerahan, energi yang terpancar tak lagi bersumber dari keinginan pribadi, melainkan dari kesadaran murni akan tugas suci sebagai pendidik. Inilah guru yang mengajar bukan untuk menggugurkan kewajiban, tapi untuk menghidupkan jiwa.
Nah, sebagai guru, ditunjukkan, sebaiknya di mana level emosinya. Saya berencana, gambaran tentang level-level energi dan emosi ini dicetak, lalu ditempel pada dinding sekolah yang mudah dilihat setiap saat.
Dalam workshop juga terungkap, bahwa terdapat lima sumber penderitaan menurut founder SEFT yaitu:
1. Menyesali masa lalu
2. Tidak menikmati saat ini
3. Mengkhawatirkan masa depan
4. Tidak bisa memaafkan, dan
5. Meletakkan kebahagiaan pada penilaian/mulut orang lain.
Saya menilai materi ini bagus karena relate dengan kondisi kita. Kalau seseorang berada dalam kondisi ini, maka orang tersebut berpotensi merasa sedih dan menderita. Bisa jadi, dia akan sulit move on. Sebab, kenyataannya, memang ada orang yang sering meresahkan sesuatu yang belum terjadi. Belum kejadian, dia sudah galau duluan dan diliputi prasangka negatif yang juga akan mempengaruhi mood-nya hari itu.
Saya, misalnya, mencemaskan bagaimana nanti siswa-siswa saya kalau ujian, Karena saya dengar-dengar, nanti diterapkan kembali ujian sebagai tanda kelulusan,
Contoh lain, terkait rasa malu, merasa tak berharga, masih menyalahkan, masih menyesal, atau masih khawatir. Bisa jadi, masih ada guru yang berada dalam level seperti digambarkan dalam teori itu.
Padahal, mestinya guru-guru tidak lagi berada di FORCE tapi POWER. FORCE berarti sesuatu yang memaksa dia dari luar, sementara POWER merupakan kekuatan yang berasal dari dirinya sendiri.
Olehnya itu, salah satu pemateri, Ernawati, S.Pd., yang merupakan guru Bahasa Inggris dari Jeneponto dan rekan seangkatan di Pascasarjana UMS Rappang menyampaikan materi tentang pentingnya emotional releasing dan penyusunan visi pribadi.
Dalam sesi ini diperkenalkan pula teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) yang dikembangkan oleh Ahmad Faiz Zainuddin, seorang psikolog lulusan Universitas Airlangga. Teknik ini merupakan bentuk terapi psikologi energi yang bertujuan menyeimbangkan emosi tanpa menekannya, melainkan dengan menerima, mengolah, dan mengontrolnya secara sadar.
Teknik ini terkenal efektif mengajarkan untuk sadar penuh dan hadir utuh serta diakui sangat ampuh membersihkan sampah-sampah emosi.
Teknik ini Bahkan bisa pula diajarkan kepada anak-anak. Jadi berbagai emosi, baik emosi positif maupun emosi negatif, bukan untuk dihilangkan sama sekali, tapi diterima terlebih dahulu, kemudian dikontrol. Misalnya, seseorang pasti pernah kecewa, pernah sedih, pernah marah, dan terkadang tanpa disadari rasa itu muncul. Boleh jadi, dia lampiskan pada orang atau siswa yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
Padahal peran sebagai guru itu sangat urgen. Guru itu jadi teladan, dan jadi role model terhadap anak didiknya. Anak-anak yang dihadapi itu merupakan generasi yang sedang dalam proses pencarian jati diri.
Mereka terkadang masih labil. Jika guru sebagai orang dewasa ternyata juga masil labil, tidak mampu mengontrol emosinya, bagaimana dengan kondisi siswanya? Bagaimana keadaan mereka yang di-handle oleh orang dewasa yang ternyata juga dalam keadaan labil?
Tidak bisa dinafikan bahwa banyak orang dewasa dalam hitungan usia, tetapi tidak dengan kematangan emosi dan pemikirannya. Orang-orang seperti ini, tidak mampu me-manage emosinya sendiri. Dia kadang melampiaskan amarah dan kekesalannya pada tempat yang tidak seharusnya. Itu inti dari workshop ini, bagaimana kita menempatkan emosi itu, me-menage-nya, supaya punya efek positif pada anak-anak.
Sementara itu, Dr Rawiah, S.Pd, M.Pd, memaparkan tentang etos kerja edukator tangguh salah satunya dengan memiliki kebiasaan growth mindset sebuah nilai dasar yang harus dimiliki guru agar tetap profesional dan resilien dalam berbagai kondisi.
Pemateri memberikan angket kepada peserta yang berisi 20 paket soal untuk memetakan profil pola fikir, dari kegiatan menjawab beberapa pertanyaan, peserta dapat mengetahui level kategori mindsetnya masing-masing.
Materi ini juga selaras dengan pendekatan pembelajaran mendalam yang saat ini digaungkan oleh Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), yakni tiga prinsip utama pembelajaran mendalam yaitu berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan, disingkat dengan BBM.
Salah satu slide yang ditampilkan oleh narasumber mengutip pendapat Prof. Abdul Mu’ti, Mendikdasmen RI yang mengatakan bahwa “Kalau orang berfikir dengan Growth Mindset maka dia yakin masalah yang hanya sedikit itu, jalan keluarnya banyak. Karena itu jangan menyerah, jangan putus asa, yakinlah ada jalan keluarnya”.
Narasumber juga menekankan materinya seputar fixed mindset (pola pikir tetap) dan growth mindset (pola pikir berkembang). Mindset ini mempengaruhi seseorang dalam melihat dunia, menghadapi tantangan, dan mengambil tindakan.
Dalam bahasa sederhana, mereka yang berada pada fixed mindset cenderung berada di zona nyaman (comfort zone), mungkin juga mudah putus asa. Sedangkan growth mindset selalu ingin maju, dan berani menghadapi tantangan.
Workshop ini dibagi menjadi lima sesi:
• Brainstorming dan berbagi pengalaman
• Emotional refreshing
• Etos kerja pendidik tangguh
• Ishoma (istirahat, sholat, dan makan)
• Penyusunan visi dan komitmen pribadi
Setiap sesi dirancang secara sistematis untuk menggugah refleksi diri dan membangun kesadaran akan pentingnya menghadirkan diri secara utuh dalam proses pembelajaran. Selingan games juga membuat setiap peserta semakin antusias mengikuti workshop.
Sesi akhir workshop difokuskan pada penyusunan visi dan komitmen pribadi. Setiap guru diminta menuliskan rencana pribadi yang akan dijalani selama tahun ajaran baru, dengan harapan akan dievaluasi secara berkala.
Pada sesi menyusun visi dan komitmen pribadi pemateri lebih menekankan pada GRAND WHY atau alasan terbesar mengapa seorang guru memilih peran menjadi seorang pendidik, Bu Erna juga menyelipkan konsep FBE (Fitrah Based Education) yang ditemukan oleh ustadz Harry Santosa bahwa guru adalah arsitek peradaban. Setiap guru memegang peran strategis dalam membentuk arah peradaban.
Di balik aktivitas harian yang tampak sederhana mengajar, menilai, mendampingi tersimpan kekuatan besar yang membentuk nilai, budaya, dan karakter generasi mendatang.
Anak-anak hadir di kelas membawa fitrah yang unik, suci, dan lengkap. Tugas kita bukan mencetak manusia seragam, tapi membimbing fitrah itu tumbuh secara utuh dan merdeka. Ruang kelas bukan hanya tempat belajar, tapi miniatur peradaban, dan setiap guru adalah arsiteknya.
Di sinilah pentingnya memiliki visi pribadi sebagai guru bukan sekadar rencana kerja, tetapi kompas batin yang menuntun langkah kita setiap hari. Visi yang lahir dari kesadaran, bukan dari tekanan. Visi yang berpijak pada nilai yang kita perjuangkan, warisan yang ingin kita tinggalkan, dan bayangan tentang anak-anak seperti apa yang kita impikan di masa depan.
Namun visi saja tidak cukup. Ia perlu dihidupi lewat komitmen kecil yang konsisten kebiasaan harian atau mingguan yang sederhana, nyata, dan bisa dilacak. Itulah cara kita menyemai perubahan, tidak dengan loncatan besar, tapi dengan langkah kecil yang istiqamah.
Menjadi guru bukan tentang menyampaikan materi semata. Ini tentang menjawab panggilan untuk membimbing jiwa, menumbuhkan semangat merdeka, dan menghadirkan ruang aman bagi fitrah anak tumbuh alami.
“Masa depan pendidikan tidak dimulai besok. Ia dimulai hari ini, dari ruang kelas saya, dari kesadaran saya, dan dari langkah-langkah kecil yang saya pilih setiap hari.”
Begitulah seharusnya setiap guru menanamkan komitmen di awal pembelajaran di setiap kelasnya.
Untuk itu, tim fasilitator akan melakukan pendampingan dan follow-up guna memastikan bahwa visi tersebut tidak hanya menjadi dokumen, tetapi benar-benar menjadi arah perubahan.
Refleksi dan Harapan untuk Masa Depan
Respons para guru sangat positif. Hampir seluruh peserta menyatakan bahwa kegiatan ini menyentuh, menggugah, dan memperbarui semangat mereka dalam mengajar. Refleksi peserta menunjukkan betapa pentingnya kegiatan semacam ini dilakukan secara rutin, karena guru bukanlah robot yang hanya bekerja, tetapi manusia yang juga membutuhkan ruang untuk merawat dirinya secara emosional dan spiritual.
Harapan saya kepada guru-guru di SMP Negeri Pakkabba, walaupun kita sekolah kecil, walaupun mungkin kurang dianggap oleh orang dari luar, tapi paling tidak, guru-guru, dan juga siswa yang ada di sini sudah punya growth mindset. Dan terutama sadar apa yang dilakukan. Film Laskar Pelangi merupakan contoh, bagaimana anak-anak yang bersekolah di sekolah yang sebagian dindingnya mau roboh dan ditopong dengan kayu, akhirnya berhasil, dan mencatatkan prestasi membanggakan.
Film Laskar Pelangi diangkat dari novel pertama karya Andrea Hirata, dengan judul yang sama, diterbitkan oleh Bentang Pustaka, pada tahun 2005. Novel dan film ini berkisah seputar perjuangan 10 anak di Pulau Belitong dalam menempuh pendidikan di tengah keterbatasan dan kemiskinan.
Olehnya itu, Kami ingin menjadi seperti Laskar Pelangi yang melintasi keterbatasan dengan cahaya semangat, menjadikan keterbatasan sebagai kekuatan, dan menyulam mimpi dari ruang-ruang belajar yang sederhana.
Sebagai kepala sekolah, saya percaya bahwa membangun pendidikan dimulai dari membangun manusianya yaitu guru-guru yang utuh, sadar, dan memiliki growth mindset. Seperti yang dilakukan Jepang pasca tragedi Hiroshima, bangsa yang maju adalah bangsa yang mendahulukan pembangunan manusia, bukan hanya infrastruktur.
Saya mau start dari guru-guru dan staf terlebih dahulu. Bagaimana orang-orang yang menjalankan sekolah ini, tidak berada pada fixed mindset, yang mudah putus asa tapi selalu bersemangat. Namun itu akan terjadi bila ada orang lain yang menyampaikan, yang punya kapasitas atau legitimasi intelektual, yakni mereka yang disebut pakar atau ahlinya.
Mungkin lantaran kami keseringan bertemu, jadinya kurang ngefek bila saya sendiri yang menyampaikan. Maka perlu ada pakarnya atau orang dengan titel tertentu yang diundang memberikan materi, berbagi ilmu dan pengalaman bersama guru-guru di SMP Negeri Pakkabba.
Respons para guru pada akhir workshop terlihat senang. Sebab di akhir kegiatan, ada lembar refleksi yang disampaikan oleh peserta, terkait workshop ini. Bagaimana pematerinya, dan bagaimana isi materinya. Semuanya positif. Alhamdulillah hampir 100 persen senang.
Pada akhirnya, yang membentuk masa depan bukan hanya kurikulum dan kebijakan, tetapi jiwa-jiwa pendidik yang hadir sepenuh hati dan penuh kesadaran dalam setiap detik pengabdiannya. (*)
*Tulisan ini dibuat berdasarkan wawancara dengan Rusdin Tompo, di SMP Negeri Pakabba, Rabu, 16 Juli 2025.