• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Coffee Shop Penyedap Mata

    Redaksi Tebarnews
    30/12/2025, 12:04 PM WIB Last Updated 2025-12-30T04:04:10Z

     

    Bersama Dr Fadli Andi Natsif, akademisi dan penulis, di Steya Coffee, suatu hari. (Is)


    Oleh: Rusdin Tompo

    (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)


    Saya selalu merasa nyaman berada di coffee shop, entah itu kafe, warkop, atau kedai kopi, yang menghadirkan benda-benda unik, khas, menarik, dan kreatif. 


    Apalagi bila benda-benda yang jadi pajangan dan dekorasi ruangan itu tak cuma asal belo-belo, tetapi tergolong jadul dan antik, yang membawa nostalgia ke era tempo doeloe. 


    Ada beberapa tempat yang sengaja saya kunjungi, hanya karena alasan ketertarikan pada setting suasananya. Sebut di antaranya, Kopi Alps dengan koleksi gramofon, yakni alat pemutar piringan hitam yang populer antara 1900-an hingga 1970-an, Kopi Riolo dengan piring dan canteng blirik, Kopi Doeloe dengan koleksi koran terbitan 1950-an, dan Kedai Lawas yang juga menghadirkan nuansa lawas dengan kopi Turki yang dimasak menggunakan metode pasir panas. 


    Deretan nama coffee shop itu adalah tempat-tempat yang bukan sekadar menawarkan cita rasa kopi tetapi juga penyedap mata sebagai daya pikatnya. 


    Coffee shop jenis ini, bagi saya, bukan didatangi lantaran menu kopinya, atau kue-kue tradisionalnya semacam barongko, onde-onde jawa atau jalangkote. Bukan pula karena wifi gratisnya. Bukan itu. 


    Bahkan tak peduli saya datang sorangan wae atau bersama teman. Juga tak saya rekeng topik bahasan apa selama berada di sana. Syukur-syukur bila ada teman satu frekuensi.


    Cukup duduk, sembari menyisir kandungan estetik benda-benda itu, menikmati bentuknya, mengagumi keberadaannya hingga bisa berada di situ, adalah aktivitas diam yang menyenangkan. 


    Saya percaya, ada upaya yang sungguh-sungguh dari owner-nya agar benda-benda itu menjadi bagian dari coffee shop miliknya. 


    Sebagai orang yang juga berupaya mengoleksi barang-barang sejenis, saya tahu upaya itu tidak mudah. Ada ongkos yang mesti dikeluarkan yang, tentu saja, tak murah plus tak mudah.


    Belakangan ini, saya suka mendatangi Steya Coffee di bilangan Kompleks Permata Hijau Permai, yang juga punya benda-benda pemikat mata. 


    Di kedai kopi bergaya rumahan ini, mata saya sangat dimanjakan oleh beragam benda yang kini hanya tinggal kenangan, yang lebih terasa mengisi sisi emosional ketimbang fungsional.


    Tape recorder, kaset, piringan hitam, telepon rumah, koper, jam dinding, televisi konsol, grinder kopi, proyektor, kursi, meja, lemari, serutan es, dan sejumlah item barang antik lainnya adalah penanda masa. Tidak semua benda-benda tersebut dalam kondisi mulus dan baik. 


    Ada yang tampak berkarat, atau terkelupas gambar, tulisan, dan mereknya. Namun di situlah orisinalitasnya. 


    Benda-benda itu merupakan barang vintage, bila dilihat dari usia dan keasliannya. Saya menakar, usianya rerata di atas 50-an tahun. 


    Benda-benda yang menyedapkan mata itu mencermintan gaya, tren, gengsi, dan kualitas terbaik pada zamannya. 


    Secara filosofis, vintage berkaitan dengan penghargaan terhadap otentisitas waktu, kualitas pengerjaan pada masa lalu, serta koneksitas nyata terhadap sejarah.


    Berbeda dengan benda-benda retro, yang sekadar meniru gaya, estetika, dan tampilan visual masa lalu, tetapi sesungguhnya merupakan produksi masa kini. 


    Benda retro sekadar hendak bernostalgia, membangkit kenangan lampau pada objek baru. Ini semacam sisi romantisisme penikmatnya.


    Bagi saya, benda-benda jadul itu lebih dari sekadar barang dalam arti fisik. Ia adalah sejarah, produk budaya populer, status sosial, dengan segala cerita di baliknya. Ia kian memikat lantaran ditata apik, dengan komposisi, yang menunjukkan kualitas seni tangan dingin pemiliknya.


    Itu baru soal koleksi yang jadi pajangan dan dekorasi Steya Coffee. Belum lagi soal tempatnya, yakni bangunan di mana lokasi ini dapat ditelusuri melalui Google Maps. 


    Alamatnya mudah dicari. Penandanya: pohon mangga yang jadi peneduh di bagian depan, dan bendera Merah Putih panjang yang membentang di pagarnya.


    Namun bukan itu yang memanggil saya, ringan melangkahkan kaki ke sana untuk memesan segelas kopi susu dan pisang peppe. 


    Alamat kedai kopi ini berada di wilayah Kassi-Kassi, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar--kampung halaman orangtua saya.


    Bekas rumah kami di Jalan Letjend Hertasning 45B, hanya beberapa meter dari kedai itu. Sehingga, setiap kali ke Steya Coffee, saya seolah pulang ke kampung Kassi-Kassi. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini