Oleh: Rusdin Tompo
(Penulis dan Penikmat Kopi)
"Doodle ini merayakan kopi susu gula aren, minuman kopi modern favorit di Indonesia yang dimaniskan dengan gula aren tradisional."
Itu keterangan Google yang menjadikan kopi susu gula aren sebagai doodle pada Selasa, 15 Juli 2025.
Gambar doodle itu berupa kedai kopi, gerobak kopi keliling, bangunan warkop/kafe/resto dan cup berisi kopi susu gula aren dingin membentuk tulisan Google di halaman utama.
Dalam bahasa Indonesia, doodle berarti mencoret. Menurut creator image, Tanti Amelia, doodle art termasuk dalam aliran freehand art, yaitu seni yang bebas sekehendak hati pembuatnya.
Doodle art ini biasa digunakan untuk menghias kemasan, dinding kafe, atau lainnya.
Produksi Melonjak
Kopi susu gula aren yang dikenal sebagai minuman kekinian mulai naik daun di Indonesia--bahkan juga di luar negeri--sejak era 2010an (kompas.com).
Jauh sebelum itu, masyarakat Nusantara sudah menggunakan gula aren sebagai bahan baku masakan, kudapan, atau pendamping makanan.
Produksi dan konsumsi gula aren lebih dahulu dikenal dibanding gula tebu. Pamor kopi susu gula aren yang hits, rupanya ikut mengerek produksi gula aren.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, produksi gula aren nasional melonjak drastis dari semula hanya 142 ton di tahun 2023 menjadi 154.126 ton pada tahun 2024. Kenaikannya lebih dari 1000 kali lipat (cnbcindonesia.com).
Kenaikan produksi yang mencolok terjadi di Jawa Timur (60.138 ton), Jawa Tengah (51.095 ton), dan Sumatera Utara (23.160 ton). Ketiga provinsi ini menyumbang 86 persen total output nasional.
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan beberapa daerah lain ikut menyumbang komoditas ini.
Gula aren ini terbuat dari nira yang berasal dari pohon aren atau enau (arenga pinnata). Pohon aren merupakan tanaman asli daerah tropis Asia yang tumbuh subur di Tanah Air, seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Kebanyakan produksi gula aren masih dilakukan secara tradisional, sehingga menjadi tantangan ke depan.
Jatuh Cinta pada Tampilan
Saya pertama kali jatuh cinta pada kopi susu gula aren, ketika mengunjungi salah satu kafe di bilangan Skarda N, Kota Makassar. Kala itu, kafe yang menyatu dengan barbershop ini baru buka.
Mata saya menangkap nama menu yang menarik: kopi susu gula aren. Begitu pelayan datang menawarkan daftar menu.
Benar saja. Secara visual kopi susu gula aren yang diantarkan ke meja saya, punya tampilan unik. Rasanya pun memanjakan kerongkongan. Hangat. Sedap.
Kopi susu gula aren yang disuguhkan dalam gelas model jadul itu berupa layer yang tersusun rapi. Gula aren, kopi, dan susu. Ketiganya tak menyatu, sehingga membuat sedap mata yang melihatnya.
Saya sempat berpikir. Jago juga baristanya. Dia memahami teknik mencampur ketiganya tanpa harus menyatu.
Artinya dia menghadirkan pelajaran fisika soal berat jenis (specific gravity) dalam segelas kopi susu gula aren.
Informasi dari anak saya, yang juga seorang barista, menyampaikan bahwa si peracik kopi susu gula aren di kafe tersebut, kala itu, memang seng ada lawang. Ia ahlinya.
Kemampuannya menata 3 elemen kunci kopi-susu-gula aren, bagai seorang empu bahasa yang mampu mengurai kalimat ruwet atas subjek, predikat, objek.
Sejak saat itu, di mana pun saya ke kafe atau warkop, bila di daftar menu ada kopi susu gula aren, maka itu yang saya pesan. Dalam bisnis F&B (food and beverage), konsep yang unik memang menjadi salah satu strategi.
Selain itu, perlu riset pasar dan target audiens (segmentasi), juga pemilihan lokasi strategis, efisiensi, serta menjaga kualitas layanan dan menu tentunya.
Sektor F&B ini lumayan luas, mulai dari produksi bahan baku, pengolahan, hingga penyajiannya di berbagai tempat dan suasana.
Di Luar Ekspektasi
Kopi susu gula aren akhirnya yang jadi top of mind saya, setiap kali bertandang ke kafe atau warkop, baik untuk bertemu kolega maupun sekadar nongki.
Sayangnya, apa yang saya imajinasikan tentang kopi susu gula aren--sebagaimana kesan pada pengalaman pertama--ternyata berbeda. Bahkan meleset jauh dari harapan.
Saya pernah memesan kopi susu gula aren, tetapi ternyata penyajiannya berbeda. Apalagi rasanya.
Pernah gula arennya disuguhkan dalam bentuk potongan kotak-kotak kecil, yang ditaruh pada piring kaleng. Pernah pula disajikan dalam bentuk gula aren serutan.
Ada juga berupa gula semut atau gula aren cair yang mesti kita sebagai pelanggan mencampurnya sendiri. Betapa mengecewakan.
Lucunya, saya tak pernah kapok memesan kopi susu gula aren. Mengapa ya? Bisa jadi karena berdasarkan bacaan, disebutkan bahwa gula aren punya indeks glikemik lebih rendah daripada gula pasir (gula tebu).
Dengan begitu, gula aren tidak membuat lonjakan gula darah secepat gula pasir. Gula aren, katanya, kaya akan mineral, vitamin, dan antioksidan. Rasa manis alami gula aren juga lebih kaya dan lembut.
Sehingga, pilihan pada kopi susu gula aren ini, bukan cuma alasan personal tetapi juga rasional.
Hanya saja, dalam beberapa kasus, saya sering terjebak pada penamaan menu yang unik. Di bayangan saya, nama menu itu mungkin juga punya cita rasa beda.
Rasa penasaranlah yang jadi pangkalnya. Sebab, bagi saya, ke kafe atau warkop itu tak hanya bertalian dengan indra perasa (lidah). Namun juga berhubungan dengan indra lainnya: penglihatan (mata), pendengaran (telinga), penciuman (hidung), dan peraba (kulit).
Bukankah kita juga nyaman menikmati suasana, larut dalam lantunan musik lembut, asyik di tengah obrolan dengan meja kursi bergaya retro, pun dekorasi ruangan nan artistik.
Belum lagi bila kafe atau warkopnya kreatif dan inovatif, yang terlihat pada nama-nama menunya. Menu yang mau dijadikan identitas dan pembeda kafe atau warkop itu.
Saya, antara lain, suatu ketika memesan "Kopi Bumi", hanya karena menganggap konsep kopinya mungkin bertalian dengan isu lingkungan.
Ternyata, minuman itu hanya berupa ice coffee pandan, yang saat disuguhkan ada nuansa hijaunya. Tak lebih dari itu. (*)