• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Malino, Spathodea, dan Cerita Lainnya

    Redaksi Tebarnews
    09/07/2025, 3:05 PM WIB Last Updated 2025-07-09T07:08:27Z

     

    Saat ngobrol dengan Daeng Sayang (paling kanan) dan suaminya Daeng Nassa (paling kiri), dalam kegiatan PAPPRI di Malino, Sabtu, 28  Juni 2025. (Dok. Tebarnews.com/ist)

     

    Oleh: Rusdin Tompo

    Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan

     

    Ini kali pertama saya ke Malino mengendarai sepeda motor, dan sendiri pula. Semula, saya ragu ke lokasi yang berada di ketinggian 1.500 mdpl itu, yang jalannya berkelok dan berjarak sekira 90 kilometer dari Kota Makassar. 


    Namun, saya putuskan untuk memenuhi undangan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Sulawesi Selatan, setelah anak saya menawarkan sepeda motornya digunakan. 


    Sebagai Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan, saya akan hadiri Rakerda yang diadakan di Hotel Celebes Malino, bersama beberapa komunitas, sebagai peninjau, pada Sabtu, 28 Juni 2025.

     

    Saya tidak punya bayangan, akan berapa lama berada di jalan. Patokan saya, hanya pada jadwal agenda Rakerda, yang akan dimulai pukul 10.00 wita. Maklum, saya tipe orang yang tidak bisa ngebut di jalan. Rata-rata kecepatan saya saat berkendara hanya 40 km/jam. 


    Karena merasa sudah agak telat start dari rumah maka saya berharap bisa tiba di kawasan wisata yang dijuluki Kota Bunga itu, sebelum makan siang. Biar bisa bergabung nanti dengan peserta Rakerda yang lain pada sesi diskusi.

     

    Saat berangkat menuju ke Malino, saya mengambil rute Bili-Bili. Alasannya sederhana, jalan ini sudah saya hafal lika-likunya. Sebelumnya, sempat terpikir untuk mengambil jalur Pattallassang, tapi itu tidak saya lakukan. Saya belum punya bayangan lewat rute itu dengan membawa kendaraan sendiri. 


    Malino memang bukan tempat yang biasa saya kunjungi, walaupun ini destinasi wisata populer, layaknya kawasan Puncak di Bogor, atau Bandungan di Semarang.

     

    Saya ke Malino pertama tahun 1989, ketika kegiatan bina akrab mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) angkatan 89. 


    Lalu naik lagi ke wilayah yang masuk Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa itu, saat ada konser musik, dengan artis Atiek CB, yang punya ciri kacamata hitam, cuma lupa persisnya tahun berapa. 


    Lama kemudian, baru saya kembali naik ke Malino, saat menghadiri acara penamatan dan perpisahan anak saya, Galang Nuraga Attar Nusantara, yang bersekolah di SD Negeri Sudirman III, Makassar, tahun 2012. Setelah menghadiri acara itu, kami ke Lembah Biru, dan menikmati dinginnya kolam renang di sana.

     

    Di bulan Juli 2017, saya berkesempatan kembali naik ke Malino, saat Reuni 30 Tahun Fakultas Hukum UNHAS Angkatan 87. 


    Saya kebagian panitia, jadi pergi terlebih dahulu bersama Harun Ar Rasyid, mempersiapkan segala sesuatunya. Kami nginap di Villa Masagena, milik teman seangkatan kami, Prof. Suryaman Mustari Pide atau yang akrab disapa Riry. 


    Di Malino, saat itu, kami mengontak teman yang orang Malino, namanya Mahatma Hafel (Ato). Rupanya dia juga mengajak teman-temannya membantu kami memasang baliho ukuran besar menggunakan bambu yang dipancang dan disandarkan pada tebing agar tidak roboh diterpa angin. 

     

    Pengalaman pernah berkunjung ke Malino itu, yang terekam saat melewati bentang jalan dengan pepohonan yang masih hijau di kedua sisinya. 


    Kadang, mata saya menangkap, ada aktivitas kendaraan berat menggali pasir dan batu untuk keperluan proyek-proyek pembangunan. Pasir dan batu itu diangkut iring-iringan truk, yang kemudian ikut memperlambat laju sepeda motor saya. Perlambatan juga terjadi bila terdapat ruas jalan dengan kondisi yang rusak. 

     

    Ketika melewati wilayah Parangloe, teringat buku “Keluarga Pagarra” yang saya tulis, tahun 2021. Buku biografi H Pagarra Daeng Rumpa di antaranya berkisah tentang anggota Polri itu, yang dikaryakan menjadi Camat Parangloe, antara tahun 1978-1985.


    Di masa Kapten Pol (Purn) H Pagarra Daeng Rumpa sebagai camat, sejumlah orang penting di masa Orde Baru melakukan kunjungan kerja di Parangloe, di antaranya Menhankam/Pangab, Jenderal TNI M. Jusuf, Menteri Penerangan (Menpen), Ali Moertopo, dan Mendikbud, Daoed Joesoef.


    Dua Gubernur Sulawesi Selatan, secara terpisah, juga pernah ke Parangloe, masing-masing H. Andi Odang, dan Prof. Ahmad Amiruddin.

     

    Begitu kendaraan saya memasuki wilayah Parigi, saya langsung teringat Labbiri. Beliau ini guru, pegiat literasi, dan penulis buku dengan tema-tema lokal. 


    Saya sengaja menepikan sepeda motor yang saya kendarai untuk memotret spot yang bisa ditandai sebagai wilayah Parigi. Ini semacam kode bahwa saya melewati kampungnya, dan akan menuju ke Malino hehehe.

     

    Saya kian bersemangat, setelah singgah di suatu tempat dan bertemu seorang pedagang bakso. 


    Saya memilih berhenti beberapa jenak untuk meluruskan punggung, sembari menikmati panorama alam dengan layer-layer bebukitan nan indah. Saya bertanya ke pedagang bakso itu, berapa jarak lagi ke Malino. Dia bilang, hanya sekira 15 kilometer saja.

     

    Tak berapa lama, setelah melanjutkan perjalanan ke arah yang akan saya tuju, hawa dingin mulai menyambut. Terlihat hutan pinus yang pucuk-pucuknya melambai, seolah memberi salam selamat datang kepada saya. 


    Di sisi kiri, saya sempat melirik prasasti Malino 1927, dengan cetakan angka yang cukup mencolok. Angka "1927" merupakan tahun Malino dikembangkan sebagai tempat peristirahatan oleh pemerintah kolonial Belanda. 


    Memasuki tahun 1930-an, gereja, pesanggerahan, dan vila-vila dibangun. Juga berbagai ragam bunga ditanam yang didatangkan dari negeri Kincir Angin itu atau dari tempat lain. Jaringan jalan juga dibuat, lalu pedestriannya ditanami bunga Spathodea.

     

    Bunga Spathodea (Spathodea Campanulata) atau Tulip Afrika, didatangkan oleh Belanda dari negara Afrika tropis. Pohon dengan bunga warna merah-orange yang bisa tumbuh hingga setinggi 75 kaki ini, punya banyak sebutan. 


    Bunga ini biasa pula disebut Kiacret, pohon hujan, muncrat, crut-crutan, atau pacco-pacco. Warna bunganya yang cerah, kontras dengan warna hijau pada daunnya, sehingga dapat dilihat dari jauh. Berdasarkan referensi yang saya baca, bunga Spathodea ini bisa jadi pewarna alami untuk kain.

     

    Pukul 11.05 saya tiba di Hotel Celebes Malino, dan langsung diarahkan menuju ruang Rakerda oleh Bahar Karca, Ketua Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Makassar, yang merekomendasikan saya hadir di acara ini. 


    Beruntung, saya tidak terlalu terlambat karena masih dapat mengikuti sambutan utuh Ketua DPD PAPPRI Sulawesi Selatan, Dr Ilham Arief Sirajuddin. Saya mengikuti sambutan yang menekankan pentingnya penghargaan atas karya pencipta lagu dan musisi itu, sambil menikmati kopi hangat.


    IAS begitu sapaan mantan Walikota Makassar dua periode ini akrab disapa, juga mengajak peserta Rakerda membangun ekosistem musik yang adaptif dan berkelanjutan, termasuk musik tradisional.

     

    “Belanda dahulu itu, pedestriannya berupa rumput hijau, jadi kalau ada bunga dari pohon Spathodea jatuh, dibiarkan karena justru terlihat indah. Sekarang pedesterian itu sudah dibeton. Spathodea itu berarti air yang muncrat,” cerita Daeng Sayang, kenalan baru, yang juga diundang dari unsur komunitas dalam Rakerda PAPPRI ini.

     

    Saya ngobrol dengan Qashidah Ardan, SH Daeng Sayang dan suaminya, Daeng Nassa, saat makan siang. Kami bertukar pandangan tentang aktivitas kesenian, dan apa yang bisa dilakukan bersama. 


    Di saat itulah, Daeng Sayang bicara banyak soal Spathodea, bunga yang mempesona, tapi luput saya perhatikan. Beliau bahkan menunjuk bunga itu dari ruang di mana kami duduk ke arah luar jendela. Samar-samar saya melihatnya, tapi terhalang kabut. Hari itu, Malino diguyur hujan.


    Qashidah Ardan Daeng Sayang merupakan pegiat seni budaya. Ardan itu merupakan akronim dari nama ayahnya, H Abd Rauf Daeng Nompo Karaeng Parigi. Beliau merupakan tokoh pejuang, dan pernah menjadi Camat Tinggimoncong selama lebih tiga dekade.


    Katanya, bunga Spathodea itu merupakan ikon Malino, selain kawasan wisata hutan pinus. Beliau pernah membuat tarian Spathodea yang dibawakan secara massal dengan100 penari di Lapangan Anggrek, Malino. 


    Tarian Spathodea oleh pelajar yang tergabung dalam Sanggar Seni Bawakaraeng itu diadakan guna memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2018. Saat itu, secara kolosal para penari berpakaian hitam dipadu selendang warna orange berlenggok gemulai membentuk formasi estetik. 


    "Saya mau angkat itu, semua orang menari Spathodea di jalanan, biar memecahkan rekor MURI. Menarik kalau disyuting dari atas menggunakan drone, tampak orang dengan baju orange di antara rimbun pohon-pohon hijau. Apalagi keberadaan Spathodea ini juga punya aspek sejarah yang perlu dimunculkan," begitu impian Daeng Sayang.


    Katanya, ada kepercayaan warga di Malino bahwa kalau bunga Spathodea masih berbunga maka masih akan turun hujan. Sebaliknya, apabila pohon Spathodea tidak lagi berbunga maka akan memasuki musim kemarau.


    Obrolan kami hari itu juga terkait perhelatan Beautiful Malino 2025, yang kali ini bertema Colours of Culture. Event tahunan ini mulai diadakan Rabu-Minggu, 9-13 Juli 2025, dengan area kegiatan utama berada di kawasan wisata hutan pinus.

       

    Alumni SMA Negeri 1 Makassar ini menyarankan penyelenggara acara perlu lebih menggali potensi dan keunikan tradisi budaya yang akan ditampilkan.


    Misalnya, terkait pertunjukan, ada tradisi petani sebagai representasi dari warga yang bisa diperkenalkan kembali. Budaya lokal itu seperti akbarutu atau akpadeko, yakni tradisi menumbuk lesung saat pesta panen.


    Bila perlu dipersiapkan desa wisata untuk dikunjungi agar pengunjung bisa datang ke sana melihat bagaimana aktivitas warga khususnya petani saat menumbuk lesung (bahasa Makassarnya, assung).


    "Saya pernah datangkan assung na dan petaninya bertanding di sini dari desa-desa. Bahkan bisa juga dipentaskan secara massal untuk pemecahan rekor," katanya optimis.


    Oleh-oleh khas Malino juga jadi topik pembicaraan kami. Kue tenteng yang biasa jadi buah tangan wisatawan, mungkin perlu dikemas lebih menarik dengan kemasan yang ramah lingkungan. Tidak lagi menggunakan pembungkus plastik karena hanya akan meninggalkan sampah plastik yang lama terurai. 


    Begitupun dengan dodol, punya peluang bagus bila dikemas menarik dan dengan citarasa yang lebih bervariasi. 


    "Pernah saya sampaikan ke pedagang tenteng, kita bisa kerjasama dengan penjual jagung yang ada di Pattallassang. Hanya saja, masih butuh lagi alat pengering untuk mengeringkan kulit jagung. Memang teman-teman ini butuh pelatihan-pelatihan UMKM," sarannya.


    Ketika pulang dari Malino, setelah nginap di Villa Weekend, Jalan Endang, Minggu, 29 Juni 2025, saya mengambil rute Pattallassang menuju Makassar. Menurut orang, rute ini relatif lebih ringkas.


    Saya pun mencoba jalur itu. Namun begitu berada di turunan Bilayya, saya sempat bimbang untuk meneruskan perjalanan. 


    Pasalnya, di depan saya jalan digenangi air yang membentuk kubangan panjang. Saya menakar kedalaman airnya dengan melihat sepeda motor yang lewat dari arah depan. 


    Saya kemudian mencopot sepatu dan kaos kaki untuk nekat menerjang jalan yang penuh genangan air berwarna cokelat itu.


    Beruntung, beberapa anak datang sigap mengulurkan bantuan. Mereka malah berebutan mau menolong. Jalan tengahnya, ada yang membawa tas saya, ada yang membawa cendol yang saya beli saat pulang, dan dua anak lainnya masing-masing membawa sepatu saya. 


    Setelah tiba di ujung, saya memberi tip buat anak-anak kreatif yang sudah menolong itu. Saya disarankan mencuci kaki terlebih dahulu dengan air hujan yang ditampung dalam wadah drum, sebelum memakai sepatu.


    Mata saya kemudian tertuju pada rambu patok kilometer atau rambu KM. Di tiang dari beton warna kuning dengan tulisan hitam itu tercetak: Makassar, 30 Km. Saya pun dengan semangat memacu sepede motor hingga tiba kembali di Minasa Upa.(*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini