• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Bioskop dan Film Layar Tancap di Makassar

    Redaksi Tebarnews
    26/06/2025, 1:18 PM WIB Last Updated 2025-06-26T05:18:26Z

     

    AB Iwan Azis (paling kiri) dalam sebuah obrolan di Warkop Azzahrah Jalan Abdullah Dg Sirua bersama penulis (tengah, baju cokelat) dan beberapa temannya. (Dok. Tebarnews.com/Istimewa)


    Oleh Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)


    “Betapa gilanya dulu orang mau nonton film, sehingga apa saja diubah jadi bioskop. Toko pun djadikan bioskop. Salah satunya, bioskop Dewi Mini, waktu tutup bioskopnya di Jalan Bulusaraung. Pemiliknya bikin bioskop di tokonya, di lantai 2. Dia jual karcis. Penontonnya, kira-kira 20-30 orang. Ada tahunan bioskop ini beroperasi.”


    Itu cerita yang dibagikan AB Iwan Azis, yang pernah menjadi Sekretaris GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia). Lelaki 78 tahun ini, tak hanya berbagi kenangan tapi juga menyingkap sejarah perbioskopan dan perfilman di Makassar. Dia memang selalu bersemangat, setiap kali kami bertemu di Warkop Azzahrah, Jalan Abdullah Daeng Sirua. Kopi susu, telur setengah matang, dan mie instan, biasa menemani obrolan kami.


    Iwan Azis lalu merinci nama-nama bioskop itu, sepanjang ingatannya. Ada Bioskop Gembira, di Gedung BKKPN ada Bioskop Sirine, di Jalan Timor—perempatan Jalan Lombok—ada Bioskop AA, kemudian Bioskop Apollo. Dia melanjutkan, di Jalan Gunung Latimojong ada juga bioskop, di bekas kantor Legiun Veteran. Ada juga Bioskop Mutiara, yang masuk lorong. Di Jalan Rusa, malah ada 2 bioskop, yakni Bioskop Arini dan Bioskop Rusa. Bioskop-bioskop ini, katanya, ada yang untuk kelas atas dan untu masyarakat kelas bawah.


    “Banyak bioskop dahulu. Pokoknya, sepanjang ada peluang mengubah ruangan jadi bioskop maka itu akan dilakukan,” bebernya. 


    Pada masa keemasannya, Kota Makassar diramaikan oleh sekira 25 bioskop. Rahmatia Rahmatia, dalam tulisannya “Bioskop di Kotamadya Ujung Pandang (1971-1999)”, menyebutkan bahwa bioskop di Makassar sudah ada sejak era kolonial Belanda. Suatu kebanggaan bagi orang-orang China, di masa itu, menyambut orang-orang Belanda di bioskop. Dalam perkembangannya, terjadi penggolongan bioskop, yang didasarkan pada ras, ekonomi, jenis film, dan fasilitas gedung. (https://doi.org & https://ojs.unm.ac.id).


    Orang-orang datang ke bioskop tak hanya untuk menikmati film, tapi juga punya tujuan lain. Bioskop memang punya multi-fungsi. Selain sebagai sarana hiburan masyarakat, juga punya fungsi informasi, edukasi, dan kebudayaan. Kehadiran bioskop juga berperan dalam perputaran ekonomi dan aktivitas sosial. Kita bisa melihat ragam gaya (life style) di bioskop karena orang akan berdandan dengan penampilan terbaik manakala ke bioskop untuk menonton film. 


    Iwan Azis mengenang, pernah bermunculan bioskop-bioskop yang namanya misbar, gerimis bubar. Disebut begitu karena bila turun hujan, penontonnya akan berhamburan cari tempat berteduh. Menurutnya, ini bukan layar tancap. Bioskop model ini pernah ada di dekat Pasar Sentral, di lapangan basket. Kalau malam, lapangan itu dimanfaatkan dan diubah jadi bioskop. Penontonnya, diizinkan membawa masuk sepedanya di dalam. Mereka juga bisa nonton sambil duduk di tribun yang biasa dipakai menonton pertandingan basket. Mirip drive in, tapi ini bukan nonton di mobil. 


    Iwan Azis mengaku, dia juga sekretaris film layar tancap. Nama organisasinya, PERFIKI, akronim dari Pertunjukan Film Keliling Indonesia. Biasanya, mereka menyewakan atau menyumbangkan kegiatan pemutaran film kepada masyarakat. Misalnya, pada saat perayaan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus. PERFIKI juga menggelar layar tancap daerah, hingga ke kampung-kampung.


    “Kantor saya di Jalan Barang Lompo. PERFIKI itu organisasi nasional. Kalau di Makassar ketuanya teman, orang Tionghoa, namanya Limbung, saya sektretarisnya. Kalau di pusat itu, ketuanya tentara,” papar Iwan Azis.


    Biasanya, saat pemutaran film, dibuatkan pembatas, bisa dari karung plastik. Namun, orang masih bisa lihat dari luar. Begitu antusiasnya orang, kala itu, mencari hiburan melalui film.


    "Film yang diputar itu merupakan film-film nasional, yang sudah kehabisan nafas hehehe. Tapi masih bisa diinfus. Caranya dengan memutar film-film tersebut di bioskop yang beratap langit, yang begitu turun hujan, langsung kabur. Film-film ini diubah formatnya dulu ke betacame, lalu dijual. Kaset video yang bentuk kotak besar,” ceritanya sambil terkekeh.


    Ketua PERFIKI, Sonny Pudjisasono, menyebut film layar tancap masih eksis, hanya bergeser ke pinggiran, dari area urban (perkotaan) ke area rural (pedesaan). Orang menonton layar tancap, kata dia, bukan hanya menikmati filmnya tapi juga suasana, silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Anggota PERFIKI, saat ini, 1.226 orang, tersebar di seluruh Tanah Air (https;//www.alinea.id).


    Dalam tulisan yang dimuat Alinea.id itu dijelaskan bahwa layar tancap biasa juga diadakan bila ada hajatan. Mengundang pengelola film keliling jadi semacam gengsi bagi yang punya hajatan, kala itu. Maka tak heran bila pengusaha film keliling datang membawa rol-rol film, proyektor, dan layar untuk menghibur para tamu. Menontonnya pun dalam suasana santai, malah bisa sambil ngemil dan pesan jajanan.


    Iwan Azis mengakui ada perkembangan perfilman di Makassar, tapi kondisinya sudah berbeda. Bioskop yang dahulu bertebaran kini tidak ada lagi. Hanya ada beberapa nama bioskop, seperti Cinema XXI, Studio 21, CGV, dan Cinepolis.


    Dalam segi produksi dan bisnis juga sangat berbeda. Iwan Azis mencontohkan, kalau biaya produksi 1-2,5 milyar, sulit untuk bisa kembali modal karena sistemnya tidak menguntungkan sineas lokal, jika filmnya mau diputar di bioskop yang dimonopoli. 


    Di masa Ramis Parenrengi, sebagai Ketua PARFI, mereka selalu berusaha agar film-film nasional lebih diutamakan diputar di bioskop. Ramis ini akrab dengan aktor Farouk Afero. Jadi mereka sering datangkan untuk kepentingan promosi film.


    “Saya dan Ramis Parenrengi biasa bikin door prize, mengundi karcis penonton, hadiahnya menarik. Ini strategi kami agar orang antusias ke bioskop. Makanya orang-orang Jakarta juga suka ke Makassar, dan mereka bikin film di sini,” kisahnya.


    Film-film yang diproduksi di Makassar, antara lain, film Wolter Mongisidi, yang menceritakan tentang seorang pemuda pejuang. Juga pernah ada film Pertiwi, yang merupakan film dokumenter. 


    “Kota ini selalu kebagian perhatian para pembuat film,” katanya bangga. 


    Namun, dia kemudian tercenung, menerawang pada peristiwa yang membuatnya gundah. Sebab, ada filmnya yang ikut terbakar. Padahal, itu merupakan dokumentasi penting baginya. Film itu dia titip untuk disimpan di gudangnya Makassar Theater, biar lebih tahan. Karena kalau lembab, pitanya melengket, tidak bisa diputar lagi, akibat pitanya jamuran. Namun naas, saat Makassar Theater terbakar, filmnya itu ikut terbakar. Makassar Theatre merupakan bioskop terakhir, di Makassar, sebelum era Studio 21. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini