• Jelajahi

    Copyright © Tebar News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sports

    Awalnya Mengantar Bingkai Malah Berakhir di Kelas Menulis

    Redaksi Tebarnews
    18/06/2025, 11:20 AM WIB Last Updated 2025-06-18T03:20:33Z
    Shanti Yani (Koordinator Indonesia's Sketchers Makassar). (DOK. TEBARNEWS.COM/ISTIMEWA)


    Oleh: Shanti Yani (Koordinator Indonesia's Sketchers Makassar)


    Minggu siang, 15 Juni 2025. Notifikasi di ponselku mengingatkan bahwa pukul 4 sore saya harus mengantarkan bingkai ke gedung Institut Kesenian Makassar (IKM) di Jalan Racing Center IV. 


    Selusin bingkai tersebut nantinya akan digunakan oleh teman-teman dari komunitas Indonesia's Sketchers (IS)  Makassar untuk memajang karya mereka pada perhelatan pameran Revolusi Esok Pagi (REP) #6 yang sedianya akan digelar pada 21-25 Juni 2025.


    Sesuai dengan tagline komunitas kami, yakni 'We Draw What We Witnes', teman-teman IS Makassar akan menghadirkan karya 'sketch on location' berupa karya sketsa/gambar yang dikerjakan langsung di lokasi (baik di dalam maupun di luar ruangan). 


    Pemilihan objeknya beragam sesuai dengan apa yang mereka minati, mulai dari landscape, bangunan, human interest hingga kuliner. 


    Uniknya, karya mereka sebagian besar diselesaikan pada saat itu juga, dilakukan secara spontan tanpa ada adegan menghapus jika terjadi kesalahan garis.  Tidak heran jika karya mereka kerkesan 'raw' dan tersaji apa adanya.


    Inilah yang menjadi benang merah pada pameran REP #6  bertajuk Post Truth. Bahwa sebuah antiklimaks berupa kejujuran bisa datang dari komunitas gambar yang merekam objek teraktual melalui indra penglihatan kemudian menuangkannya ke dalam sketsa dengan beragam style para sketsernya.  


    Begitu saya tiba di lokasi, suasana terbilang sepi. Nampak hanya beberapa panitia yang sedang ngopi.


    Bangunan IKM benar-benar terlihat masih  baru. Gema suara terpantul dari ruangan-ruangan di lantai satu yang kosong nyaris tanpa perabot.


    Beberapa saat kemudian satu-dua orang mulai berdatangan (belakangan baru saya tahu kalau merekalah para pemateri workshop).  


    Bingkai kemudian diantar ke lantai 2. Tepat di sebelah ruangan panitia. 


    Rupanya akan dilaksanakan workshop Menarasikan Seni Rupa Melalui Penulisan Kreatif, sebagai rangkaian pra even REP #6.


    Karena masih tersedia kursi kosong untuk peserta, saya nekad bergabung bersama enam peserta lain yang telah mendaftar lebih awal melalui tautan di laman Instagram panitia. Lumanyanlah untuk menambah ilmu secara cuma-cuma. 


    Pukul 16.00 Wita, workshop dibuka oleh Bang Fadly selaku ketua panitia pameran, sekaligus moderator yang akan memandu jalannya workshop selama kurang lebih empat jam ke depan.  


    Materi pertama diisi oleh Bang Maysir Yulanwar. Beliau adalah seorang fotografer, desainer grafis, pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Makassar Terkini.  


    Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna navy yang digulung 3/4 , celana jeans dan kupluk putih, style beliau seakan menegaskan bahwa dirinya cukup khatam dalam dunia industri  kreatif.


    Dalam sesi yang berdurasi 2 jam tersebut,  beliau memaparkan secara lugas dan komprehensif tentang teori penulisan kreatif. Bagaimana bahasa sastra bisa digunakan dalam menyajikan hard news dan soft news.


    Berdasar pada materi yang telah dipaparkan, kami diberi tugas untuk membuat Lead/teras berita. Di pengujung sesinya, Bang Maysir menambahkan agar dalam membuat tulisan/berita kita harus selalu berpatokan pada kebenaran dan kejujuran. Karena idealisme seorang jurnalis adalah menjadi pembela masyarakat umum.


    Begitupula sebaliknya, kita sebagai pembaca, jangan menelan mentah-mentah sebuah berita. Terlebih di era medsos saat ini, di mana hoax bahkan kerap diterima sebagai kebenaran bagi mereka yang malas melakukan crosscheck.  


    Kelas dilanjutkan kembali setelah jeda shalat Magrib. Pukul 19.00 Wita, tibalah  sesi kelas Bang Rusdin Tompo. Beliau adalah seorang penulis dan editor, pembicara isu anak dan penggiat sekolah ramah anak.


    Berbalut celana jeans, sepatu sneakers dan kaos oblong bergambar mata pena berukir yang bagian atasnya ditutupi passapu merah (ikat kepala khas Makassar), seolah memberi statement di depan kelas agar kami mengenalnya sebagai koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan.


    Dalam sesinya beliau meyakinkan kami bahwa menulis itu sebenarnya mudah. Bahwa selama ini kita terlalu terpaku pada apa yang ingin kita tulis bukan pada apa yang ingin kita sampaikan. 


    Sehingga tidak jarang berakhir stuck karena terlanjur berpikir bagaimana nanti penilaian orang pada hasil tulisan kita.


    Untuk mulai menulis, kita bisa memilih dari topik yang kita akrabi. Bang Rusdin kemudian memperagakannya dengan memperlihatkan sebuah lukisan dekoratif bergaya sketsa hitam-putih karya Prof Aziz Muhammad (Dosen Seni Rupa FSD, UNM).


    Di dalamnya terdapat unsur ornamen tradisional Bugis/Makassar, sederet aksara Lontara, gambar hewan dan aksara Latin dengan font original sang pelukis.


    Beliau kemudian menanyakan, apa yang paling menarik perhatian kami- yang tentu saja jawabannya beragam.  


    Praktik pendekatan seperti itu bisa diimplementasikan dalam menulis. Tanpa disadari sumber kreativitas sangatlah dekat dengan diri kita.


    Bahwa seluruh yang ada pada tubuh kita ini bisa menjadi pintu masuk untuk memulai sebuah tulisan kreatif. 


    Tiga puluh menit terakhir kami mengerjakan tugas. Menerapkan teori yang barusan dipelajari untuk membuat sebuah tulisan tentang pelaksanaan workshop sepanjang sore hingga malam itu.


    Satu per satu para peserta diminta membacakan hasilnya. Perasaan malu dan ragu akan hasil tulisanku diganjar dengan tepuk tangan penyemangat dari seisi kelas. Tentu saja ada koreksi di sana-sini.


    Memang seperti itulah hakikat dari mengikuti sebuah kelas, apalagi kali ini termasuk dadakan bagi saya. 


    "Dulu saya belajar menulis di bawah lampu teplok. Lampu teplok itu sampai sekarang masih menyala di mata saya." (Joko Pinurbo)


    Workshop menulis sore itu yang kini menjadi binar cahaya dari lampu teplok di mataku. (*)


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini